33. Between Like, Admiration, and Love

608 53 5
                                    

Sejak pernyataan Ali saat itu, hubungan Kayla dengan Ali mulai berbeda. Ali tidak lagi sungkan menunjukkan perhatian padanya lewat pesan-pesan yang ia kirimkan. Memperlakukannya bukan lagi sebagai teman, melainkan sebagai seseorang yang dicintai. Layaknya gadis-gadis lain, ia juga lama-kelamaan terbawa perasaan. Ia juga bisa goyah saat ada laki-laki yang mendekatinya. Karena itulah, ia memilih mengabaikan Ali untuk sementara.

Ia tidak ingin salah mengartikan perasaannya sendiri. Ia tahu betul bahwa Ali adalah laki-laki baik. Ia senang bisa mengenal pemuda yang dinilainya rendah hati itu. Entah mengapa, ia merasa nyaman dan dilindungi saat berada di dekat pemuda itu. Namun, untuk menentukan perasaan macam apa, ia masih bingung. Sekadar kagum, suka, atau cinta.

Kayla mengusap wajahnya kasar. Selama satu minggu ini, kalimat-kalimat yang Ali ucapkan saat itu terus terngiang di telinganya. Membuatnya susah berkonsentrasi pada mata kuliah. Bahkan, sang dosen killer---Brotoseno---saat ini memperhatikannya. Pria berkumis itu melihat gelagat aneh mahasiswi terpintar di kelasnya.

"Kayla?"

"Eh? Iya, Pak." Kayla mendongak.

"Jangan melamun!"

"Maaf, Pak."

"Daripada melamun, lebih baik kamu ulangi penjelasan saya tadi. Temanmu masih ada yang belum mengerti."

Kayla memejamkan mata sejenak, mencoba menghilangkan bayang-bayang Ali dari pikirannya. Takut zina pikiran. Ia lalu membawa catatan kecil yang tadi ia gunakan untuk menulis poin-poin penjelasan sang dosen. Gadis itu berjalan ke depan kelas. Setelah mengambil napas dalam-dalam, ia mulai menjelaskan.

Sang dosen yang duduk santai di kursi hanya tersenyum. Sesekali ia mengangguk-angguk saat apa yang ia jelaskan tadi ternyata dapat diserap dengan baik oleh gadis itu. Kadang memang selucu itu. Yang mendengarkan penuh perhatian hingga memeras otak, tetap saja tidak paham. Sementara yang duduk sambil melamun dengan tangan tetap menulis, bisa memahami dengan baik.

***

"Kamu mikirin apa, sih, tadi? Sampai ngelamun gitu?" tanya Farah sambil mengaduk es campurnya menggunakan sedotan.

"Enggak mikirin apa-apa, kok." Kayla ikut mengaduk esnya.

"Dih, enggak jujur. Paling mikirin A Ali," celetuk Andira yang langsung mendapat perhatian dari keempat sahabatnya.

"Emang kenapa sama A Ali?" Widya yang sejak tadi fokus pada mie ayamnya, menoleh.

Bagas dan Rayhan yang sebenarnya paling malas membahas mengenai laki-laki selain mereka, ikut menoleh. Dua lelaki pencemburu yang tadinya membahas game itu mulai tertarik. Apalagi mengenai Kayla yang tampaknya mulai memikirkan lawan jenis. Bagi keduanya, itu merupakan hal yang langka.

"Seminggu yang lalu, A Ali ajak Kay pergi. Enggak tahu, deh, ke mana. Kayla enggak mau cerita." Andira melirik ke arah Kayla yang mulai risih lantaran menjadi perhatian para sahabatnya.

"Dipaksa, atuh. Kan aku juga kepo." Widya mengompori.

"Udahlah, enggak usah dibahas," pungkas Kayla yang membuat kelima sahabatnya mendengkus kesal.

"Ya Allah, Kay. Bagi-bagi, atuh, kalau punya kabar bahagia," desak Bagas yang membuat Rayhan tertawa.

"Kabar bahagia. Kamu pikir Kayla mau nikah?!" Rayhan kembali tertawa.

"Tapi ... ada benarnya, sih, kata Bagas. Bukan nikah juga kayak yang dimaksud Rayhan, tapi 'ditembak'." Andira menatap intens pada sang sepupu yang kini gugup.

"Tuh, kan, salting sendiri. Jangan-jangan benar apa kata Andira," celetuk Widya yang ikut memperhatikan gerak-gerik Kayla. Kayla memang sedang membalas pesan yang baru saja dikirimkan padanya.

Kayla in Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang