31. Hard to Conquer

579 55 2
                                    

Sore hari, usai kembali dari kantor setelah meeting, Ali mampir ke mess. Pemuda itu membulatkan tekad untuk melakukan apa yang selama ini ia rencanakan. Pemuda itu tak menghiraukan tatapan aneh rekan-rekan sekantornya. Ia justru tersenyum-senyum sendiri sambil berjalan ke arah mobil yang terparkir di lahan luas di samping mess.

Dengan kecepatan sedang, ia memacu kendaraannya membelah jalanan Kota Bandung. Diiringi lagu yang sengaja ia putar. Bibir tipis pemuda itu ikut bersenandung. Sesekali menyugar rambut klimisnya yang beraroma pomade menggunakan jari tangan kiri. Menyetir dengan tangan kanan saja.

Tadi siang, ia sudah mengirimkan pesan pendek ke nomor Kayla. Meminta gadis itu untuk bersiap-siap lantaran ia akan menjemput sore ini. Ia sendiri juga sudah bersiap-siap. Memantapkan diri dengan degup jantung yang kian kencang, tidak bisa diajak bekerja sama.

Mobil Ali tiba di depan gerbang. Kayla baru saja keluar dari sana dan gerbang segera ditutup oleh Nurdin. Kayla tampak cantik dengan gamis merah muda dan jilbab lebar yang tertiup angin. Membuat Ali terpaku selama beberapa saat, terpesona.

“Kita mau ke mana? Berdua lagi?” tanya Kayla begitu Ali membukakan pintu untuknya.

“Kali ini aku sengaja enggak ngajak Ahmad. Aku mau ajak kamu ke suatu tempat.” Kayla yang sudah duduk, mengernyitkan dahi. Sementara Ali masih memasang senyum manis, lalu menutup pintu dan berlari memutar ke arah kursi kemudi.

'Kamu cantik, Kayla. Tanpa make up sekalipun' batin Ali begitu duduk di samping Kayla. Menatap beberapa saat pada gadis manis itu sebelum membuka kaca jendela. Sementara Kayla yang merasa diperhatikan, menunduk sambil memainkan jari.

“Rileks, Kay.”

“Eh? Apa, A?”

“Rileks. Kita bukan mau sidang skripsi. Enggak perlu tegang gitu,” canda Ali dan sukses menerbitkan seulas senyum Kayla.

Mobil abu-abu Ali pun melesat menyusuri jalanan beraspal. Tidak ada perbincangan yang berarti dalam mobil itu. Hanya Ali yang sesekali melempar leluconnya, berusaha mencairkan suasana. Ia ingin Kayla menikmati perjalanan kali ini. Tidak ingin gadis itu selalu menganggapnya orang asing.

Setelah beberapa menit perjalanan, mereka pun tiba di sebuah tempat. Sepasang mata Kayla terbelalak menyaksikan apa yang ada di hadapannya. Sebuah danau dengan air yang jernih. Semilir angin yang bertiup lembut membawa kedamaian di hati gadis itu. Perasaan gugup yang sejak tadi mendominasi, perlahan hilang. Ia mengekor Ali yang terlebih dulu berjalan setelah membukakan pintu untuknya.

Mereka melangkah menuju sebuah kursi putih yang menghadap danau. Kursi berbahan kayu itu berada di bawah tiang besi yang memiliki warna senada. Sulur tanaman bunga Mandevilla merah muda melilit tiang itu dari bawah hingga atas. Sulur itu juga merambat sampai ke bagian atas kursi, sedikit melindungi kursi di bawahnya dari sinar matahari. Bentuk besi itu memang melengkung di bagian atas, membentuk atap, membuat harum bunga Mandevilla semakin semerbak menyapa indra penciuman Kayla.


“Kamu suka?” tanya Ali begitu duduk. Pemuda itu memperhatikan Kayla yang masih menikmati hijaunya pepohonan di sekitar.

“Suka banget, tapi sepi.”

“Duduk, Kay,” pinta Ali sambil tersenyum. Ia mengerti bahwa Kayla takut berduaan dengannya. “Suka bunganya?”

“Suka.” Kayla menoleh sekilas kepada Ali, sebelum kemudian melempar pandangan ke arah bunga-bunga yang berada di tepi danau. Gadis itu menghirup harum semerbak dari bunga-bunga itu.

“Suka pergi ke sini sama aku?”

“Suka.” Kayla buru-buru menutup bibirnya menggunakan tangan. “Eh---enggak gitu. Maksudku---emm---bukan---”

Ali terkekeh melihat reaksi Kayla. “Aku suka ke sini bareng kamu.”

Semburat merah muncul di pipi Kayla. “Kenapa ngajak aku ke sini?”

“Kay, coba lihat aku,” pinta Ali lembut sambil mengubah posisi duduknya sedikit miring. Perlahan Kayla menoleh, memandang wajah pemuda itu. Bukan pada matanya, melainkan bagian hidung ke bawah. Perasaan gugup kembali menyerang.

“Aku bukan laki-laki romantis yang bisa merangkai diksi puitis. Bukan juga laki-laki yang punya seribu satu kata-kata manis untuk merayu.” Ali menjeda kalimatnya. Memperhatikan Kayla yang menautkan jari.

“Aku enggak tahu kapan perasaan nyaman ini muncul, Kay. Mungkin semenjak aku sering putar murottal suara kamu setiap malam. Susah dipercaya. Tapi aku emang ngerasain itu sama kamu. Kamu itu beda. Kamu memikat aku dengan cara kamu sendiri. Sadar atau enggak, kamu udah buat aku jatuh cinta.”

Mendengar kalimat panjang itu, perut Kayla terasa sakit. Bukan karena terlalu banyak makan. Sakit perutnya lantaran perasaan gugup yang semakin mendominasi. Membuat detak jantungnya bekerja lebih keras. Meloloskan butiran peluh dari pori-pori tubuh gadis itu.

“Kayla, tolong lihat aku,” pinta Ali lembut lantaran Kayla semakin menunduk.

“I---iya.” Kayla mulai memiringkan tubuhnya dan mendongak, menatap sekilas pada sepasang bola mata pemuda di hadapannya. Senyum yang menghiasi wajah pemuda itu menular pada dirinya. Perlahan, ia ikut tersenyum.

“Aku mencintai kamu, Kayla Ramadhani.”

Detak jantung Kayla berdegup semakin kencang mendengar pengakuan itu. Untuk pertama kali dalam hidup, ia merasakan hal itu. Bingung. Satu kata yang bisa menggambarkan keadaannya saat ini. Hanya bungkam dan semakin tak berani menghadap Ali. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

“Kay? Aku nunggu jawaban kamu, loh.”

“Emm---A, aku---bingung.” Kayla kembali ke posisi duduk semula, menghadap ke depan sepenuhnya.

“Bingung kenapa? Gimana perasaan kamu sama aku?” desak Ali yang sudah gemas memperhatikan gestur gadis di sampingnya. Jika dulu Syafira langsung menerimanya, lain dengan gadis Kayla.

“Kenapa A Ali bisa jatuh cinta---sama aku?”

Ali tersenyum, matanya masih lekat memandang Kayla. Sejurus kemudian, pemuda itu beranjak dari kursi. Melenggang menuju mobil yang diparkir tak jauh dari sana. Langkahnya cepat dan kembali ke sana dengan sebuah gitar akustik cokelat. Ia duduk lagi di samping Kayla. Memberi jarak sekitar empat puluh senti, seperti tadi.

“A Ali mau ngapain? Itu gitarnya dari mana?”

“Dari jok belakang. Mau tahu jawaban dari pertanyaan kamu tadi, 'kan?” Ali masih dengan senyumnya menatap Kayla. Jari-jarinya sibuk mencari nada yang tepat supaya tidak terdengar sumbang. Sementara Kayla mengangguk sebagai jawaban. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan Ali dengan gitar itu.


Ali bersenandung diiringi petikan jarinya pada dawai. Seketika membuat gadis di sampingnya berdebar. Suara pemuda itu memang tak semerdu penyanyi aslinya. Namun, setiap baitnya mampu membuat Kayla merasakan perasaan asing yang hinggap tiba-tiba.



***

TBC

Ada yang mengutarakan perasaan, nih. Hehehe.

Ali romantis, enggak? Kalau Ali bilang, sih, enggak.

Thanks for read my story.

See you on the next chapter.

No plagiat!

Kayla in Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang