Chapter 24: Membaik

Start from the beginning
                                    

"MANDI DULU, WOY!"

Arka mendesah kesal sedangkan Fiko berdecak. "Anjrit, Galuh anjing!"

Galuh beranjak dari duduknya. "Tanggung jawab kalau sepreinya bau."

"Masih wangi gue. Nih, samping gue, nih, udah bau bangke," ucap Arka melirik Fiko sekilas.

Fiko menatap sengit ke arah Arka. "Lo tuh yang bau bangke."

"Apaan? Gue masih wangi, ya. Enggak kaya lo."

"Wangi matamu."

Galuh menggeleng-gelengkan kepalanya sembari masuk ke dalam kamar mandi. Kedua temannya itu tidak pernah berubah.

Arka memilih diam. Sedangkan Fiko dengan sisa tenaganya beranjak dan berjalan menuju meja belajar Galuh untuk mengambil ponselnya. Fiko duduk di sofa yang tidak jauh dari jendela balkon. Ia pun membuka ponselnya dan bermain game.

Arka yang masih malas untuk pergi mandi pun menghidupkan televisi yang ada di kamar. Berulangkali Arka mengganti tayangan, tidak ada satupun yang menurutnya seru. Akhirnya, Arka mematikan televisinya lagi.

Arka terdiam. Laki-laki itu tidak bisa bermain ponsel karena benda pipih itu masih disita. Arka sebenarnya kesal. Penilaian akhir semester sudah berlalu, tetapi papanya tidak kunjung mengembalikan ponselnya. Semua barang yang disita oleh pria itu tidak ada yang kembali pada Arka.

Namun, di sisi lain, ada untungnya ia tidak membawa ponsel. Papanya tidak akan menelponnya karena dirinya tidak ada di rumah. Biasanya, papanya sudah ribut mencari dirinya jika ia keluar.

Sejenak Arka tertegun. Ia tersadar bahwa Pak Prasaja tidak mencarinya. Jika ia tidak di rumah, sudah pasti papanya bisa menebak jika ia di rumah Galuh. Papanya pasti akan selalu menyusul atau meminta Galuh menitahkan Arka untuk pulang.

Arka menoleh ke arah Fiko. "Fik, lo enggak dicari ayah lo?"

Fiko menggeleng. "Enggak."

Arka masih menatap Fiko sampai laki-laki yang sedang serius bermain game itu tersadar. Fiko menegakkan tubuhnya dan menatap Arka. Fiko mengecek ponselnya. Melihat apakah ada panggilan tak terjawab dari ayahnya atau pesan yang masuk. Namun, Fiko sama sekali tidak menemukannya.

Pintu kamar terbuka. Arka dan Fiko tersentak.

"Galuh baru mandi, ya?" tanya Bunda Ayla menengok kamar Galuh.

Arka mengangguk. "Iya, Bunda."

Sejak dulu, Arka dan Fiko memang memanggil Bunda Ayla dengan sebutan 'Bunda'. Sama seperti Galuh. Bunda Ayla sendiri yang meminta.

"Nanti kalau kalian sudah selesai bersih-bersih, langsung turun aja ke ruang makan, ya. Bunda sudah siapkan sarapan kalian di meja. Bunda mau pergi arisan dulu. Jaga rumah, ya."

"Oh, ya, Bun. Terima kasih, Bunda."

"Ya sudah. Bunda berangkat dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Bunda Ayla tersenyum. Setelah itu keluar dari kamar Galuh. Arka dan Fiko kembali menyenderkan tubuh mereka.

"Tumben banget enggak nyariin," gumam Fiko.

Arka terdiam sejenak. Jika seperti ini situasinya, Arka semakin takut untuk pulang ke rumah. Arka menghela napasnya. Hening beberapa menit. Sampai akhirnya Fiko mengeluarkan suaranya.

"Lo ternyata juga sama kaya gue, Ar."

Arka menatap Fiko. "Maksud lo?"

"Papa lo." Fiko diam sejenak. "Kenapa dulu lo enggak bilang kalau lo juga lagi ada masalah? Kenapa lo diam aja kalau ternyata masalah kita sama?"

Mantan Rasa Pacar [END]Where stories live. Discover now