Bab Sepuluh

5.1K 1.2K 165
                                    

"Dengarkan

ओह! यह छवि हमारे सामग्री दिशानिर्देशों का पालन नहीं करती है। प्रकाशन जारी रखने के लिए, कृपया इसे हटा दें या कोई भिन्न छवि अपलोड करें।

"Dengarkan ...."

"Monica ...."

Bisikan suara itu seperti rentangan benang yang membentang sunyi. Halus. Kabut berwarna merah yang mengepul perlahan memudar selaras dengan pendaran cahaya yang tak bisa benderang. Monica mencoba membuka kedua matanya yang semula tertahan.

"Terimalah ...."

Gema itu muncul kembali ketika Monica hendak mencari asal suara. Ia seperti manusia yang tersesat di ruang tanpa sekat, tanpa ujung, dan tanpa sudut, berdiri mencari tahu apa yang sedang terjadi. Monica terpaku di situ tanpa bisa menggerakkan kakinya untuk melangkah maju. Tubuhnya hanya bisa berputar pada satu poros mencari sosok yang samar.

Deretan manusia dengan berbagai macam rupa dan bentuk—berpakaian seperti orang-orang di musim dingin—berbaris tanpa teratur dan membentuk pola lingkaran, muncul tiba-tiba di sekelilingnya. Satu baris awalnya, Monica terkejut bukan main saat barisan di belakang mereka tiba-tiba saja bertambah seolah bayangan mereka berubah wujud menjadi prajurit yang sedang berbaris.

Orang-orang itu tidak punya ekspresi. Wanita, pria, orang tua bahkan anak-anak, mereka seperti manekin bernyawa yang tak bisa berkedip. Puluhan pasang mata itu sama sekali tidak mengarah pada hal lain kecuali pada satu tumpuan. Yaitu, keberadaan Monica.

Kabut merah menyelimuti udara yang tanpa sadar membuat Monica kehilangan akal. Ia bisa merasakan debaran jantungnya berpacu senada dengan tabuhan genderang yang ia sendiri tidak tahu dari mana asalnya. Suara-suara itu menggema, padahal tidak ada satu pun dari manusia itu yang bicara bahkan untuk sekadar membuka mulut.

"Monica ... lihatlah dirimu ...."

"Di mana aku?"

Monica memegangi kedua sisi kepalanya sebab tabuhan genderang itu semakin membuat telinganya sakit. Ditambah dengan gaungan suara mistis yang perlahan merasuki. Ia bisa merasakan kengerian merambah masuk ke alam bawah sadarnya saat mata–mata manusia itu menyebabkan ia terpenjara pada tubuhnya sendiri.

Tidak ada yang bisa dilakukannya selain jatuh berlutut. Nyala api tanpa sumbu tiba-tiba muncul di udara dan membentuk bola-bola yang melayang. Semakin kuat tabuhan genderang itu, semakin sakit seluruh tubuhnya didera.

Ini mimpi, ini hanya mimpi.

Monica mencoba bertahan bahwa ini semua hanya mimpi. Namun, mengapa rasa sakit itu terasa nyata terlebih saat nyala api itu semakin membesar. Monica menjerit tanpa bisa bersuara. Jari-jari tangannya mengeruk tanah saking tak kuasanya ia menghalau gema-gema suara itu memasuki celah telinga. Wajahnya menengadah ke atas dengan mulut yang terbuka sementara suaranya tak bisa keluar sedikit pun bahkan sampai urat di lehernya menegang.

Suara-suara itu seperti bayangan yang tak ada habisnya, berulang pada ritme yang memaksa. Monica tidak bisa melemahkan dirinya sendiri kecuali menerima terpaan aneh yang belum juga berhenti meminta matanya untuk terbuka. Air matanya luruh. Ia mencoba berteriak sekuat tenaga agar bisa terbangun dari tempat yang lebih mirip dengan neraka. Kedua tangannya mencengkeram tanah sekuat tenaga kemudian mengangkatnya tinggi. Monica tidak menghendaki saat kedua tangannya seperti digerakkan oleh seseorang untuk mengusapkan tanah hitam itu ke wajahnya.

Pӧlzl  [Sudah Terbit]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें