Bagian 8 - Menjadi Lebih Baik?

Start from the beginning
                                    

"Kenapa ga ngambil jurusan arsitektur aja?" tanya Ten.

"Ga dapet izin." jawabku, Ten mengangguk paham.
"Kamu sendiri, kenapa malah ke bisnis, kalau hobi kamu ada di bidang seni kayak gini?"

"Kayaknya alasannya sama kayak kamu. Ayah aku pengusaha, udah kewajiban anak pria tunggal buat ngelanjutin." Kali ini aku yang mengangguk paham. Aku putri tunggal keluarga, ya mau tak mau harus melanjutkan usaha ayah juga.

"Tapi kalo dijalanin tanpa ada rasa tertekan juga baik-baik aja kok."

Aku mengernyit kurang paham.

"Terkadang orang tua emang keliatannya egois, tapi mereka gamau anaknya gagal. Ada jeleknya ada juga bagusnya." bebernya.
"Kamu kayaknya harus refreshing, kita jalan-jalan oke, kamu yang pandu."

Hal yang kukira hanya guyonan tanpa keseriusan malah terjadi. Ten bersungguh-sungguh dengan perkataannya itu. Ia menjemputku pagi-pagi di hari Minggu, bertanya tempat mana yang mau aku sambangi. Aku yang dasarnya buta tempat hiburan dengan asal berkata bahwa aku ingin bermain arcade. Ten dengan senyum sumringah langsung saja tancap gas dan berkata bahwa pilihanku tepat.

"Kamu yang tukar."

Aku menatap ragu dua lembaran uang seratus ribu di tanganku, Ten memberiku uang yang kemudian harus aku tukarkan dengan kartu bersaldo yang nantinya kami gunakan untuk bermain.

"Aku gabisa." gumamku.

"Pasti bisa!" ujar Ten. Keringat dingin membasahi dahiku begitu Ten mendorongku semakin mendekat ke loket penukaran.

"Ada yang bisa saya bantu?" kata mba-mba penjaga loket. Sial, aku sungguhan benci interaksi dengan orang asing.

"Euh..." aku menatap Ten yang membalasku dengan anggukan kepala.

"Huff." kuhembuskan nafasku, mencoba menetralisir rasa gugup yang membuncah. Tenang, Autumn, hanya penjaga loket, menukar uang dengan kartu kemudian pergi.
"S-saya mau tukar." ujarku pelan.

"Mau tukar berapa, mba?" Dengan cepat kuberikan uang ditanganku.
"Tunggu sebentar."

Tak lama penjaga loket itu menyerahkanku sebuah kartu sambil berkata, "Semoga harimu menyenangkan." dengan riangnya.

Aku buru - buru menghampiri Ten.
"You did it, Autumn! Just a little bit more and you'll be the next president of Indonesia."

Aku tertawa mendengarnya. "Jangan berlebihan, Ten."

Ten menatapku sambil tersenyum kecil. "Nah, terus bahagia ya Autumn. Kalo gini, kan cantiknya nambah. Hehe."

"Terserah."

Tak bisa ku pungkiri bahwa bermain arcade dengan Ten bukanlah hal yang buruk, malah terkesan asyik. Kalau tau melakukan hal semacam ini begini menyenangkannya, seharusnya sudah ku lakukan dari dulu. Aku pun heran bagaimana caraku bisa tertawa lepas tiap kali melihat Ten kalah dalam permainan, aku sendiri pun tak tau mengapa aku setuju – setuju saja saat Ten mengajakku berfoto bersama. Yah, apa aku bisa dibilang lebih baik dari sebelumnya?

“Laper.” keluh Ten selepas kami bermain. Aku mengangguk setuju, kemudian menyerahkan masalah destinasi kuliner ke pria itu. Meskipun aku orang Indonesia asli, tapi aku buta tempat nongkrong, apalagi yang di daerah Jakarta.

“Seblak?” tanyaku heran yang dibalas dengan anggukan penuh semangat dari Ten.

“Aku ngidam.” jawabnya. Melihat antusiasmenya yang tinggi melebihi kepercayaan dirinya sendiri, aku jadi ragu untuk protes dan malah ikut saja masuk ke dalam warung kecil yang menjual seblak. Kubiarkan Ten yang memesan setelah sebelumnya bilang bahwa aku tidak terlalu suka pedas.

“Kamu suka seblak?” tanya Ten begitu dirinya selesai memesan.

"Ga terlalu sih.” balasku.

“Oh, aku kira suka, soalnya ‘kan seblak dari Bandung. Kamu ‘kan orang Bandunng?”

Aku menatap Ten penuh selidik, “Darimana kamu tau aku orang Bandung?”

“Dari Tante Darla.” jawabnya, iya juga, waktu itu Ten pernah bilang kalau ibunya dan Tante Darla berteman,

Tapi, omong-omong tentang Bandung. Aku jadi rindu rumah. Aku jadi rindu masa kecilku, dimana aku belum sama sekali tertampar keras oleh kehidupan dan kenyataan. Ketika aku mencoba bernostalgia tentang kota itu, aku jadi teringat sesuatu.

“Ibu?”

***

Aku menatap nanar batu nisan ibuku di salah satu kompleks pemakaman di Bandung. Begitu aku teringat akan salah satu alasanku ingin mati waktu itu, aku langsung memutuskan untuk pergi ke Bandung keesokan harinya. Ten memaksa ikut yang anehnya aku biarkan, karena kalau dipikir – pikir, lumayan juga untuk menghemat ongkos.

Rasanya begitu pilu ketika melihat orang yang melahirkanmu sudah terbaring tak berdaya di bawah tumpukan tanah. Bahkan disaat-saat terakhirnya pun aku tidak ada disampingnya. Aku sungguhan sudah bertranformasi menjadi anak durhaka sekarang.

“Maaf, Bu.” Hanyalah kata itu yang mampu kuucapkan, menangispun rasanya sulit. Setelah memanjatkan doa dan berharap semoga amal ibu diterima di sisi-Nya, aku dan Ten sama-sama pamit dan keluar dari areal pemakaman. Daritadi Ten hanya diam, sembari sesekali meneuk bahuku untuk sekedar memberiku kekuatan yang rasanya percuma saja.

“Kamu kuat ya, ga nangis?” ujar Ten begitu kami masuk ke dalam mobilnya.

“Percuma, ga akan bisa bantu almarhumah kalau aku cuma nangis.” balasku.

But still tho, I can’t even imagine if I’m in your situation right now.”

Aku tertawa remeh, “Sebenernya aku ga suka di kasihani, tapi yaaa.”

“Maaf.” ujar Ten setengah berbisik. Hening setelahnya.
“Autumn.”

Aku menoleh sambil bergumam “Apa?” saat Ten memanggilku.

“Kematian pasti akan datang, kenapa harus terburu-buru?”

Aku tersenyum kecut, kebetulan macam apa yang membuat kalimat Ten hampir sama dengan kalimat Aster sebelum aku mencoba bunuh diri. Hanya saja dari sudut padang yang saling bertolak belakang.

“Kamu benar, Ten.”

AutumnWhere stories live. Discover now