PROLOGUE

139 6 0
                                    

Kalian tidak pernah peduli, sekalipun ada hal yang kalian pedulikan, maka hanya diri kalian sendiri. Kisahku, sejarahku, hidupku, sulitku tentu bukan hal membanggakan yang sukses membuat kalian terkesima. Hidupku nyaris serumit teka - teki tanpa arti. Kisahku sepilu dingin yang menusuk. Harapanku berbaur dengan gelapnya malam tanpa secercah cahaya. Aku mencoba bertahan, meyakinkan diriku sendiri yang pada akhirnya hanya membuatku sadar diri, aku tak berarti.

PRANG!

Suara pecahan kaca, lemparan benda - benda, seolah menjadi rekanku kala senja menjemput. Kucoba acuh namun suara saling mencaci itu malah semakin menjadi. Aku lelah. Aku lelah meyakinkan diriku sendiri bahwa mereka akan berhenti. Aku lelah membohongi perasaanku bahwa aku baik - baik saja.

"Aku berani bertaruh, mereka akan berpisah dalam hitungan bulan."

Aku mendongak, tak lagi kusandarkan punggungku ke dinding dan beringsut berdiri. "Aster? Dari kapan kamu disini?"

"Hmmm... Daritadi, kamunya aja yang ga sadar aku datang." Aku menggeleng pelan, kemudian berlalu ke kasur dan menenggelamkan tubuhku dibalik selimut tebal, mencoba meredamkan suara bentakan yang - sialnya - berasal dari kamar disamping kamarku.

"Ter, jam berapa sekarang?" tanyaku pelan.

"Setengah sebelas malam." jawab Aster singkat. Sudah hampir tengah malam dan mereka tak kunjung berhenti cek-cok. Aku menghela nafasku, sialan, memangnya mereka ga sadar kalau ada satu kehidupan lagi dirumah ini?

"Percuma kalau kamu berharap mereka akan berhenti." ujar Aster, aku menatap gadis berambut sebahu itu penuh tanda tanya. "Permasalahan mereka udah fatal banget, kamu bukan bocah lagi kamu juga pasti ngerti." bebernya.

"Terus apa? Aku harus apa? Aku capek, Ter. Aku cuma mau punya ayah dan ibu yang akur dan peduli sama aku." Sebisa mungkin kutahan tangisku, karena rasanya terlalu lelah bagiku untuk meneteskan air mata.

"Relain mereka berada di jalannya masing - masing, Autumn." tukasnya. Aku terdiam, tengah berpikir. "Jangan egois, mereka udah mengedepankan kamu sebagai anak dan rela buat mertahanin pernikahan mereka. Mereka ga nyaman, Autumn, sama bukan kamu juga. Satu - satunya jalan, ya, mereka pisah."

"Tapi, Aster, aku juga ingin bahagia." imbuhku.

"Apa kamu bahagia ngeliat orangtua kamu bertengkar terus - terusan? Apa kamu bahagia ngeliat ibu kamu nangis tiap malam? Apa kamu bahagia ngeliat ayah kamu pulang dalam keadaan mabuk bersama wanita lain? Kalo itu emang alasan kamu bahagia, then just sit here and do nothing like this every night." Aku kembali terdiam, perkataan Aster ada benarnya.

Aku sedikit mengeluarkan air mataku saat mendengar penuturan Aster yang entah mengapa terasa begitu menyayat hatiku. Aster tidak salah, permasalahannya ada di aku yang egois. Aku yang tidak pernah peduli akan kebahagiaan orangtuaku, aku yang hanya berusaha mencari kebahagiaanku sendiri.

"Kamu benar lagi, Aster." Kulihat Aster menyunggingkan senyumnya yang manis. "Makasih udah mau peduli sama aku."

"Sama - sama, Autumn."

AutumnWhere stories live. Discover now