Bagian 8 - Menjadi Lebih Baik?

25 5 0
                                    

Aku diperbolehkan pulang dari rumah sakit seminggu kemudian. Tujuh hari terkurung disana, membuatku mulai menyadari betapa tulus dan sabarnya Tante Darla mengurusiku yang menyebalkan ini. Ten dan ibunya juga selalu menyempatkan diri untuk membesuk, dan aku rutin berbagi cerita dengan psikiater yang belakangan aku baru tahu namanya, namanya Bu Rina.

Perlahan aku mulai menerima fakta bahwa Aster tidak benar-benar hadir dalam kehidupanku yang kacau. Walau sulit, namun apa boleh buat? Aku harus tetap hidup juga 'kan?

Mereka berkata bahwa aku menciptakan Aster dengan pikiranku yang kalut, efek dari depresi dan kesepianku. Jujur saja aku shock awalnya, mana bisa aku menciptakan temanku sendiri. Namun, bukti yang mereka tunjukan dan seolah menyokong diagnosis mereka mengenai aku yang... berhalusinasi?

"Ehm... Tante, Ten boleh minjem Autumn?"

Aku tengah mengobrol dengan Tante Darla ketika Ten datang sambil membawa sekotak donat. Pandangan mataku bersibobrok dengan Tante Darla, sambil saling melemparkan senyum tipis. Tante Darla mengiyakan permintaan Ten, aku sendiripun tidak keberatan. Toh aku juga butuh teman sebaya untuk mengobrol juga 'kan?

Karena mulai hari ini aku putuskan, aku akan memulai hidup baru.

Agak kaget ketika Ten tak lagi mengendarai scoopy merahnya, melainkan mobil Mercedes Benz hitam yang kutebak sangatlah mahal. Aku terkekeh melihat Ten yang menyombong,

"Sengaja ga saya bawa ke kampus. Nanti takut hilang, bisa habis saya di tangan ayah." jelasnya yang membuatku terkekeh.

Ten membawaku ke sebuah taman kota yang cukup ramai. Aku menatapnya heran, Ten tau betul betapa kurang nyamannya aku di tempat ramai seperti ini dan dirinya malah menyuruhku duduk di salah satu kursi panjang yang menghadap langsung ke arah orang-orang yang tengah sibuk sendiri dengan aktifitasnya.

"Kalau kamu mau berubah, kamu harus hadapi." ujarnya, aku mengerutkan kening bingung. "Jangan lagi takut."

Ah, aku menangkap maksudnya. Jadi, aku harus mencoba untuk terbiasa berada di tengah-tengah orang banyak?

"Apa yang harus ditakuti sih? Pada dasarnya manusia itu makhluk sosial, saling membutuhkan satu sama lain."

Aku masih tak bergeming, mencerna perkataannya lamat-lamat.

"Janji sama saya, harus berani ya?"

Dengan ragu aku mengangguk, membuat Ten menyunggingkan bibirnya membentuk sebuah senyuman lebar yang manis.

"Ngomong-ngomong, kita masih saya-kamu an aja. Rasanya canggung banget." ujarku pelan. Kulihat Ten menggaruk lehernya kemudian menunjukkan cengiran bodohnya.

"Sebenernya... Saya ga biasa ngomong gue-lo. Tapi kalau kamu nyamannya begitu ya-"

"Bukan." tukasku. "Saya juga gabiasa ngomong begitu, kesannya kasar."

"Yaudah, terserah kamu mau gimana. Saya ikut aja."

Aku tersenyum kikuk.

"Oh iya, hobi kamu apa?"

"Hobi?"

***

"Hobi kita agak mirip."

Aku melirik Ten yang tengah fokus dengan buku gambarnya. Diriku juga terkejut begitu tau kalau kami sama-sama suka menggambar. Hanya saja Ten lebih suka menggambar bebas dan melukis sementara aku suka menggambar perspektif. Yah, aku 'kan juga sebenernya ingin jadi arsitek.

Eh, arsitek ya? Apa ada hubungannya dengan Aster yang mengambil jurusan arsitektur?

"Iya." jawabku singkat. Entah menjawab pernyataan Ten barusan atau pemikiranku mengenai Aster.

AutumnWhere stories live. Discover now