Bagian 3 - Mimpi Buruk

24 6 0
                                    

Bagaimana rasanya selalu merasa sesak setiap malam? Terlalu banyak berpikir sehingga membuat kepalamu sendiri terasa seperti mau pecah. Terlalu takut untuk keluar dan berbicara karena berpikir bahwa mereka tidak akan peduli. Terlalu pecundang untuk melawan. Terlalu lemah untuk menjadi kuat.

Well, rasanya... melelahkan, hanya menyisakan kehampaan dan kekosongan, merasa bahwa dirimu tak ayal sebuah sampah, tak di butuhkan. Bukan inginku untuk merasa seperti ini, namun aku tak mampu untuk berubah.

Kali ini, aku kembali merasakannya. Jantungku berdetak dengan kerasnya, sangat menyakitkan, seperti mau lepas. Tanganku bergetar hebat, kakiku lemas, sakit kurasa di kepalaku. Aku sulit bernafas. Rasanya benar - benar seperti mau mati, it feels like i'm actually dying.

Serangan panik-ku kembali datang, tepat setelah ku injakan kakiku ke rumah. Menemukan ayah dan seorang wanita muda yang mengaku sebagai calon ibu baruku. Aku bersikap tak acuh ketika sebenarnya diriku sendiri begitu peduli. Peduli dalam artian kepada diriku sendiri.

Bagaimana kalau dia jahat?

Bagaimana kalau dia hanya ingin harta ayah?

Bagaimana jika mereka memiliki anak dan melupakan bahwa aku ada?

Bagaiamana kalau mereka kembali pisah dan meninggalkanku sendirian?

Pemikiran itu menyakitkan. Bayangan masa lalu ayah dan ibu yang harmonis seketika muncul kembali di otakku, yang malah terasa semakin pilu. Secepat itu ayah melupakan ibu? Ah, lupa, bahkan ibu sendiripun sudah punya pengganti ayah. Hanya tinggal menghitung waktu sampai mereka benar - benar melupakanku.

"Sakit?" tanya Aster. Aku masih terduduk di lantai kamarku, dengan penampilan yang kacau. Rambutku berantakan, kemeja tidurku terkancing asal, bekas - bekas air mata masih tercetak di pipiku. Pokoknya, menyedihkan.

"Rasanya seperti aku bisa saja mati rasa karena saking seringnya merasa sakit." ujarku.

"Kamu ga salah, Autumn. Pikiran - pikiran kamu ga sepenuhnya salah. Hanya mereka yang ga ngerti." Aku mengangguk lemah.
"You're just scared of being scared, Autumn. And there's no other way for us to stand against it."

Betul, aku tak bisa berbuat banyak meskipun hal itu membunuhku. Mereka tidak akan peduli. Masalah pertamaku, panic disorder.

Anti sosial, mereka memanggilku. Aneh, mereka mengejekku. Diriku mulai terbiasa, mencoba untuk tidak peduli meskipun aku mendengarnya. Kepercayaanku menghilang seiring dengan rasa percaya diriku. Self insecure, sehingga aku sendiri merasa tak pantas bersanding dengan orang - orang. Merasa tak berarti. Merasa hanya seperti angin lalu.

Rasanya sakit ketika dilupakan, dan itu adalah alasanku tidak lagi percaya akan pertemanan. Terlalu banyak pengalaman buruk yang membuatku trauma, terlalu banyak masalah yang membuat diriku depresi. Muncul berbagai pertanyaan tiap kali aku berbaur,

bagaimana kalau mereka tak menyukai kehadiranku?

apa aku seaneh itu?

bagaimana kalau aku tak dianggap lagi?

apa aku pantas?

"Masalah cowok yang mau jadi teman kamu itu, gimana? Kamu mau percaya sama dia?" langkahku menuju kasur terhenti begitu pertanyaan Aster meluncur tepat mengenai hatiku. Kepalaku pusing lagi, ingin diriku berteman namun sebagian besar diriku yang lainnya menolak dengan kelakar bahwa semua manusia sama saja.

"Ngga, Aster." gumamku. "Aku gabisa percaya orang lagi. Cukup kamu."

Kulihat Aster tersenyum simpul, berjalan mendekat kemudian menyisir rambutku yang berantakan dengan tangan kosongnya.

AutumnDonde viven las historias. Descúbrelo ahora