Bagian 2 - Sepuluh

26 5 0
                                    

Jika aku bisa meminta sesuatu, aku hanya ingin sebuah keberuntungan. Tiga hari semenjak aku pindah ke Jakarta, adalah hari pertamaku mengubah statusku menjadi mahasiswi. Tidak, aku tidak senang. Ayah sungguhan mendaftarkanku ke sebuah universitas swasta dengan jurusan yang dia atur. Bisnis. Jikalau aku bisa memilih, tak segan akan kupilih jurusan arsitektur sebagai pilihan. Aku suka menggambar, aku suka menghitung, dan kebetulan aku paling benci tawar-menawar.

Sementara Aster, kurasa dia agak lebih beruntung. Aster diterima di Universitas Negeri Jakarta mengambil jurusan Pendidikan Fisika, salah satu mimpiku juga. Tapi yasudahlah, rezeki orang memang beda-beda.

Esok adalah hari dimana aku harus menjalankan masa orientasi kampus. Perasaan tidak nyaman lantas menjalar keseluruh tubuhku, malam ini aku terlampau gelisah untuk sekedar bisa beristirahat. Pemikiran mengenai diriku yang akan bertemu banyak orang asing membuatku pening. Kuku-kuku jariku tak henti-hentinya ku gigit, aku berjalan mondar - mandir di dalam kamarku yang lumayan lebih lega dari kamarku di Bandung. Sesekali ku tengok jam dinding dengan tatapan gusar, sudah lewat tengah malam. Seharusnya aku tidur!

"Bagaimana jika mereka lebih parah?" gumamku.

Pemikiran negatif langsung saja memenuhi otakku, aku tidak bisa terus menerus seperti ini. Dengan langkah tergesa aku berjalan menuju nakas di samping ranjang, membuka lacinya satu persatu sebelum akhirnya menemukan botol berisi obat penenang yang mulai ku konsumsi diam-diam selama tiga tahun belakangan. Tanpa pikir panjang aku lantas meminum satu butir obat itu tanpa bantuan air mineral.

Dengan begini, setidaknya tidurku bisa sedikit lebih nyenyak.

Keeseokan paginya aku terbangun tepat lima belas menit sebelum MOS dimulai, aku lantas bersiap dalam kecepatan cahaya, bukan maksud melebih-lebihkan tapi percaya deh kalkulasi waktu yang kuhabiskan di kamar mandi dan memakai baju hanya kurang dari sepuluh menit. Sisanya ku habiskan di jalan, untung mobil tengah ayah pakai sehingga aku bisa leluasa meminta Pak Hilman–supir pribadi ayah–untuk mengantar menggunakan motor.

Untunglah aku masih diberi keberuntungan, walau nyaris saja aku telat. Aku sampai di lapangan outdoor kampusku, aku melihat sekeliling dan menemukan banyak orang tengah berbincang. Jika kuhitung secara kasar, mungkin ada lebih dari seribu orang tengah berdiri disini, sial, terlampau banyak. Aku memegangi perutku yang terasa mual, kepalaku sontak terasa pening, dan aku luar biasa kepanasan. Aku tidak bisa, aku ingin cepat pulang. Andai ada Aster disini.

Bruk!

"Aduh!"

"Aw!"

Rasa sakit menjalari bokongku ketika tiba-tiba aku di dorong dan mendarat sukses di tanah beraspal yang panas. Aku sibuk membersihkan tanganku dari kerikil kecil akibat menjadi tumpuan agar kepalaku tak ikut mencium aspal juga.

"Ya Tuhan." Aku menoleh ke samping, menemukan sosok seorang pria mungil bersurai hitam dengan kacamata bulat tengah jongkok di sampingku, menatapku dengan entahlah mungkin khawatir. Kulihat bagian lengan kirinya terdapat luka kecil, mungkin karena dirinya juga ikut terjatuh. "Kamu gapapa?"

Oh, sekarang dapat ku asumsikan bahwa dia lah penyebab diriku jatuh begini. Kulihat ia mengulurkan tangannya, berniat membantuku berdiri yang langsung saja ku tepis.

"Ga, jauh-jauh." desisku. Aku sontak berdiri, kemudian berjalan menjauhinya setelah sebelumnya membersihkan debu-debu dari celanaku. Masa bodoh dengan anggapannya mengenai diriku yang aneh.

Aku harus ingat pesan Aster, jangan memulai kontak apapun dengan orang asing, karena pada akhirnya mereka hanya akan membuat masalah.

***

AutumnDär berättelser lever. Upptäck nu