Bagian 3 - Mimpi Buruk

Start from the beginning
                                    

"Aku gabisa bilang kamu memilih keputusan yang tepat. Tapi itulah satu - satunya ilihan yang kamu punya, bukan suatu kesalahan untuk menjauh dari masalah."

Lagi-lagi aku setuju. Benar memang, lebih baik bagiku untuk menghindari masalah daripada mengambil resiko dan memulai masalah baru. Dimana hanya membuatku semakin merasa kecewa dan sakit. Masalah keduaku, social anxiety.

"Life is just a ton of bullshits. Why should we hold it, then?"

Malam itu, aku tertidur setelah mengeluh banyak ke Aster. Aster sengaja kupinta untuk menginap, aku butuh teman curhat dan untungnya dirinya tidak keberatan. Aku berhutang banyak padanya. Paginya aku terbangun dengan sakit kepala yang hebat. Aku tidak menemukan Aster dimanapun dan berasumsi nahwa dirinya telah pulang kerumahnya. Waktu menunjukkan pukul delapan pagi, tersisa tiga puluh menit sebelum kelasku hari ini dimulai. Aku lantas bersiap, membersihkan diri kemudian berpakaian. Hoodie cokelat dengan celana jeans hitam menjadi pilihanku, rambutku kuikat asal dan tak perlu repot memoles wajah karena aku sendiri tidak peduli. Why would I tryin' to look beauty when I literally don't even have an inner beauty at all. Make up just sounds so fake to me.

Aku sampai disekolah dengan diantar Pak Hilman, supir pribadi ayah, setelah mengabaikan ayah dan calon istrinya yang menawariku sarapan bersama. Semua itu palsu, aku tau. Setelah mengucapkan terima kasih, aku turun dari mobil dan langsung bergegas menuju kelas sambil menghiraukan keadaan sekitar. Seperti biasa, aku memilih untuk duduk di bangku paling belakang, kelas masih sepi omong-omong, bagus.

"Kayaknya kita emang ditakdirin buat selalu ketemu. Kita satu kelas." Aku terlonjak kaget begitu menoleh dan mendapatkan Ten tengah duduk disampingku.

"Kamu siapa?" tanyaku dingin. Pura - pura lupa dengan harapan membuat dirinya kecewa dan enggan memulai konversasi lebih lanjut denganku.

"Saya, onetwothreefourfivesixseveneightnine TEN!! Baru sehari ga ketemu, masa udah lupa?"

Ketika aku berpikir bahwa akulah manusia teraneh maka aku betulan salah. Pria ini, adalah yang paling aneh dari semua jenis manusia yang pernah kutemui. Aku tak menggubrisnya, memilih untuk menidurkan kepalaku diatas meja. Sebagian dari diriku menyesal karena lupa membawa headphone, namun sebagian diriku yang lainnya malah bersyukur. Karena jika aku membawa headphoneku sekarang, mungkin aku tidak sedang mendengar ocehan Ten yang entah mengapa terdengar lucu ini sekarang.

Tunggu, apa yang salah denganku?

"Kamu orangnya pendiam ya?"

Diam, aku tidak menjawab.

"Saya juga pendiam." imbuhnya yang langsung kubalas dengan kekehan remeh.

"Kayak kamu? Pendiam?" balasku, seulas senyuman kembali mengembang di wajah Ten.

"Akhirnya ngomong juga. Capek daritadi saya ngomong kamu cuekin."

Aku menggendikan bahu acuh, kemudian kembali mengalihkan atensiku ke sisi lain ruangan.
"Lagian ngapain sih ganggu saya? Masih banyak kursi yang kosong, pindah sana, hus!"

Ten menggeleng semangat. "Saya suka duduk disini. Janji deh akan diam." ujarnya dengan formal, aneh melihat pria muda jaman sekarang yang berbicara dengan bahasa formal alih - alih menggunakan lo-gue seperti anak-anak ibukota lainnya. Belum lagi pelafalannya yang payah, aksennya ketika berbicara membuatnya jelas terdengar bukan orang Indonesia asli.

Ah, iya, dia dari Thailand 'kan? Aku baru ingat, pantas saja.

"Ck." Aku berdecak sebal, janji Ten tak bisa sama sekali dipegang. Karena beberapa menit setelahnya, Ten kembali mengoceh yang tentu saja kuacuhkan. Mungkin aku terlihat kasar, namun, serius deh, Si Ten ini sungguhan mengganggu dan masih terus berlanjut sampai kelas usai.

AutumnWhere stories live. Discover now