Leo 7 - Christmast Gift

Start from the beginning
                                    

Gue memperhatikan pakaian yang dia pake sekarang. Dia cuma pake gaun putih selutut tanpa lengan. Bahunya keumbar ke mana-mana dan dia bisa masuk angin kena angin malem yang kenceng begini.

Sebenernya gue gak harus peduli, toh dia bukan siap-siapa gue juga. Tapi tangan gue seolah gerak gitu aja buat ngelepas tuxedo yang gue kenakan lalu nyampirin benda itu pada kedua bahunya.

Iya... Seharusnya gue gak sepeduli ini.

Tapi gak bisa. Ngeliat dia seolah-olah gue lagi ngeliat Lizzy, adik gue.

Sepuluh menit berlalu, suara tangisannya udah gak sekenceng tadi. Dia juga udah gak nutupin mukanya pake kedua tangannya. Pandangannya tertuju ke depan, menatap hamparan laut di depan sana dengan tatapan sendu dan suara isakan yang masih sesekali terdengar.

"Lo mau gue beliin minum gak?"

Dia menggeleng tanpa menoleh. Oke... Mungkin dia emang gak haus, walaupun kayaknya gak mungkin abis nangis sesenggukkan kayak tadi tenggorokannya gak terasa kering.

"Dunia jahat banget."

Gue yang semula juga ikut memandang laut di depan sana, refleks menoleh ke arahnya yang tiba-tiba aja bersuara.

"Gue capek. Kenapa sih kita terus dituntut buat harus memenuhi semua ekspektasi orang lain?"

Ya gak tau ya.... Mungkin emang udah ketentuannya begitu?

Tapi sebagai orang yang terlalu bebal kayak gue, rasanya males buat sekedar dengerin ekspektasi orang-orang yang ditujuin buat gue, apa lagi buat memenuhinya. Gue lebih suka ngebiarin semuanya ngalir gitu aja sesuai keinginan gue. Karena ya buat apa gue mewujudkan ekspektasi orang lain, di saat kadang aja ekspektasi gue terhadap diri gue sendiri gak terwujud.

Atau mungkin... Emang gak akan pernah ada orang yang berekpektasi tinggi tentang gue. Bahkan orangtua gue sendiri gak pernah mengharapkan kehadiran gue di dunia ini. Gue gak tau gimana rasanya diekspektasikan orang banyak.

Tapi gue kenal orang-orang yang punya keluhan sama kayak cewek yang sekarang duduk di samping gue ini.

Keluhan yang keluar dari mulut mereka kurang lebih sama, "Gue capek menuhin ekspektasi mereka terus," atau "Gue takut gak bisa memenuhi ekspektasi mereka."

Lo capek karena lo takut. Takut buat mereka kecewa karena ekspektasi mereka buat lo gak bisa lo penuhin, makanya lo terus ngepush diri lo sampe lo capek.

"Kalau bisa milih, mending gue gak usah dilahirin di dunia sekalian."

"Jadi tadi lo mau bunuh diri?!" mata gue melotot waktu jawaban yang gue terima adalah sebuah anggukkan. Wah.. Gila..

"Tadinya, tapi gue takut. Dosa gue masih banyak."

Dan gue gak tau apa yang membuat gue menghela napas lega setelahnya.

"Gue capek, gue mau jalanin hidup sesuai apa yang gue mau. Gue gak mau jadi pusat perhatian orang terus, gue gak mau orang-orang terus berekspektasi tinggi sama gue."

Pusat perhatian? Tunggu.... Dari mukanya emang keliatan kayak gue pernah liat. Bukan cuma karena mukanya mirip Lizzy, tapi gue ngerasa kalau gue pernah nemuin muka ini juga di suatu tempat. Sial, kenapa otak gue kalau disuruh nginget gini kerjanya lama banget sih?

Selama kurang lebih lima menit dia bungkam. Sibuk menghapus sisa air matanya dan mengatur deru napasnya yang masih tersenggal-senggal. Sedangkan gue sibuk dengan pikiran gue sendiri, sibuk mengingat dimana gue pertemu ketemu dia selain di pesawat tadi.

"Yo... Lo pernah gak sih kayak gini? Secapek ini? Atau gue aja yang emang lebay?"

Hah? Dia nyebut gue apa barusan?

Tacenda [Republish]Where stories live. Discover now