Intermezzo • Ketika Mereka Berkata...

498 69 9
                                    

"Words. So powerful. They can crush a heart, or heal it. They can shame a soul, or liberate it. They can shatter dreams, or energize them. They can obstruct connection, or invite it. They can create defenses, or melt them. We have to use words wisely."

— J. Brown


***




Adriel

Setiap mendengar atau menonton berita ada orang yang mati karena bunuh diri, awalnya gue merasa muak

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Setiap mendengar atau menonton berita ada orang yang mati karena bunuh diri, awalnya gue merasa muak. Muak karena mereka gak bisa sayang sama diri mereka sendiri. Muak karena mereka menjadikan mati sebagai jalan keluar. Muak karena pikiran mereka sesempit itu.

Apa mereka gak mikirin gimana perasaan orang-orang yang mereka tinggali? Apa akibat dari tindakannya itu? Apa nyiptain kebahagiaan? Enggak. Mati bukan jalan untuk bahagia.

Tapi perspektif gue berubah, saat orang terdekat gue yang memiliki niatan untuk melakukan tindakan itu.

Hampir setiap malam, gue selalu menghabiskan waktu dengan kegiatan video call bersama Clara, hanya karena gue takut niatan dia untuk bunuh diri tiba-tiba muncul kembali.

Saat dia masih di Indonesia, hampir setiap malam pula gue mendapati telepon berisikan suara isakan dan raungan kesakitan. Raungan kesakitan karena dia mencoba untuk melukai dirinya sendiri. Raungan kesakitan sebagai penggambaran dari rasa sakit di hatinya pula.

Dan setelah itu, gue akan berujung menyandangi rumahnya. Menemukannya tertuduk di sudut kamar dengan banyak luka sayatan pada pergelangan tangannya. Menemukannya mengucapkan kata mati berulang kali sambil memukul-mukul kepalanya.

Dan semenjak itu gue menyadari, bahwa mereka yang terlihat sangat bahagia di depan orang lain adalah mereka yang paling rapuh di depan dirinya sendiri.

Clara mungkin bisa tertawa lepas seperti gak punya beban di depan teman-temannya. Clara mungkin bisa menebar senyum kebahagiaan pada orang-orang yang menyapanya. Namun dia tetap akan menangis sejadi-jadinya saat dia sendirian.

Hanya karena dia merasa belum cukup baik.

Hanya karena orang-orang menyebutnya belum cukup baik.

Dan satu hal lain yang baru gue sadari, ternyata kata adalah senjata paling berbahaya daripada senjata lainnya.

Dia gak berwujud. Dia gak bisa digenggam. Dia gak terlihat. Tapi hanya dengan satu-dua kata banyak orang-orang yang merasa tersakiti dan hampir mati.

"Aku tuh buruk Adriel! Aku gak baik! Aku jelek! Kenapa sih kamu mau sama aku? Supaya aku makin dipandang jelek, gitu?!"

Masih teringat dengan jelas gimana Clara berteriak menyalahkan dirinya sendiri di hadapan gue. Saat itu dia hampir melukai wajahnya dengan menggoreskan silet pada permukaan pipinya. Tapi untungnya gue dateng tepat waktu. Karena kalau enggak, gak tau akan semenyesal apa gue nanti.

Tacenda [Republish]Where stories live. Discover now