7 : Psikologi

783 86 7
                                    

Sampai akhirnya aku melirik seluruh isi kelas yang melihatku dengan pandangan seolah menyelidik. Aku berjalan saja ke bangkuku berpura-pura tidak mengetahui apa-apa.

Moza yang melihat itu langsung memburuku dengan segala macam pertanyaan. Yasa dan Rafan ikut mengerumuniku dan menatapku dengan mata yang dipicing.

"Ngapa sih?" risihku.

"Itu paan?" tanya Moza.

"Puisi," ucapku singkat dan tersenyum penuh arti.

"Cieee dikasih puisi," ucap Rafan tiba-tiba dan membuatku terkejut.

Rafan memang terlihat konyol, tubuh gempalnya dan mata sipitnya membuat orang-orang gemas. Tapi tidak dengan aku, aku sering emosi jika sudah berada dekat dengannya. Pasalnya ia termasuk orang yang lemot, dan terkadang pembahasannya berbeda dengan apa yang tengah kami bahas.

'Kami' yang sedang aku bahas adalah geng. Sebenarnya bukang geng, kami menyebutnya keluarga. Lail sebagai ibunya, Discha, Moza, Yasa, Rafan dan aku adalah anak-anaknya. Ayahnya adalah semua ayah kandung kami masing-masing. Lail terkadang menjadi orang yang random. Ia mengatakan bahwa ayah-ayah kami berselingkuh dari ibu-ibu kami dan menikahinya diam-diam. Setiap Lail mengatakan itu, kami tertawa dan terkadang memandang malas Lail yang juga ikut tertawa geli.

"Liat dong," Yasa berucap.

"Enak aja, ini punya gue," ucapku sambil mengantongi kertas itu.

"Yaelah baca doang," ucap Yasa lagi.

"Pokoknya engga."

Yasa menatapku malas kemudian pergi dan Rafan ikut pergi dengan Yasa. Biarkan saja mereka seperti itu, ku yakin bukan karena hanya hal seperti ini saja mereka akan marah.

"Gue boleh kali baca," mohon Moza.

Aku tengah berpikir, Moza saja tak apalah. Aku mengangguk kemudian mengeluarkan kertas itu dari saku dan membukanya. Aku juga belum membacanya.

"Bagus," ucap Moza setelah selesai membaca puisi itu.

Aku mengangguk setuju masih sambil melihat kertas itu, mencoba mencermati arti dari setiap kata. Ini hal yang akan kulakukan setelah selesai membaca puisi seseorang, aku akan mencari tau.

Drrtt drttt

Ponselku bergetar, tanganku bergerak mengambilnya dari saku. Kemudian aku menggeser layar, dan melihat sebuah pesan dari whatsapp.

Kang tipu : maaf kalo jelek, soalnya aku baru aja nulis itu.

Jejen : bagus kok, gue suka.

Kang tipu : oh iya tadi ekspresi kamu kaya sedih gitu. Ada apa? Kamu ada masalah?

Jejen : hah? Kaga elah, gue baik-baik aja.

Kang tipu : tapi beda, kaya ada yang kamu sembunyiin dari semua tawa kamu yang aku liat.

Jejen : ah sok sokan jadi cenayang lo

Kang tipu : bukan gitu, aku suka belajar soal psikologi. Yaa dikit-dikit paham lah soal bahasa tubuh seseorang.

Apa lagi ini? Psikologi termasuk hal yang aku sukai juga. Aku belajar mengenai psikologi melalui grup-grup di whatsapp. Aku menyukai hal-hal yang berkaitan dengan psikologi. Melalui psikologi aku bisa berhadapan langsung dengan setiap masalah-masalah kehidupan seseorang, baik masalah fisik maupun mental. Aku suka mempelajari kehidupan seseorang.

Jejen : lo suka psikologi? Gue suka banget. Bahkan gue pernah kepikiran jadi Psikolog kalo udah gede nanti.

Kang tipu : wah bagus. Hm mau coba tes kepribadian ga?

Jejen : gimana?

Kang tipu : besok deh, aku punya aplikasinya.

Jejen : yauda oke.

Hal yang menyenangkan bila sudah membahas soal literasi, seni dan psikologi bagiku. Dan ketika mendapat seorang teman yang memiliki semua kesukaan yang sama denganku apalagi seorang laki-laki membuatku senang berkali-kali lipat. Aku bisa bertukar pikiran dengannya, pastinya dengan sudut pandang yang berbeda.

Jangan lupa vote!

Pencet bintang disini
👇

Kamu dan BandungWhere stories live. Discover now