"Oke."

Bagus. Seenggaknya otak lo ada gunanya.

"Terimakasih, sayang. Mama cuma mau memastikan kamu aman mulai sekarang."

Yang selanjutnya Biru dengar adalah desah lega Ranin, lalu topik kembali berganti menjadi obrolan ringan. Biru masih tetap bertahan di posisinya, tapi lama-lama dia jadi kesal sendiri. Seharusnya dari awal dia tidak di sini dan mendengar semua omong kosong ini.

"Lain kali, tolong bilang sama Mama kalau ada apa-apa. Jangan dipendam sendiri. Mama tau kamu kuat, tapi kekuatan seseorang juga ada batasnya, Sa. Nggak selamanya kamu bisa menghadapi semuanya sendirian. Jadi Mama mohon, mulai sekarang, cerita sama Mama kalau ada apa-apa. Ngerti 'kan maksud Mama?"

"Aku cuma nggak mau Mama khawatir."

"Terus kalau kamu udah seperti ini, kamu pikir Mama nggak khawatir? Nggak cuma Mama yang kamu bikin kelimpungan, Sa. Tapi juga Papa Praja. Dan Biru. Kita semua khawatir sama kamu."

"Maaf."

Biru masih diam di posisi yang sama, namun entah mengapa dia seperti bisa merasakan tatapan Angkasa yang kini tertuju padanya tanpa ia perlu membuka mata.

"Tapi daritadi kita kayaknya berisik banget deh, Ma. Untung Birunya nggak kebangun. Kasihan, Ma. Dia kelihatan capek banget."

"Ya udah, nih, lanjutin dulu makannya. Habis ini kamu juga istirahat."

Kemudian ruang itu kembali tenang setelah mereka memutuskan untuk diam. Rasanya Biru benar-benar hampir terlelap, jika saja suara gaduh dari luar tidak pernah ada. Detik itu Biru membuka mata dan memandang Ranin yang sudah lebih dulu bergegas keluar ruangan.

Mata Biru menyipit sebentar saat ia merasa suara dari luar terdengar familiar. Detik selanjutnya ia bangkit dan segera menyusul keluar, meninggalkan Angkasa sendirian.

Di sana, Biru menemukan Praja yang sedang berusaha menahan Hendra untuk menerobos ke dalam ruangan, serta Ranin yang berdiri di sisi Praja dengan amarah yang begitu besar. Untuk pertama kali, Biru menyaksikan wanita itu tampak begitu berapi-api.

"Mau apa kamu ke sini? Belum puas kamu bikin anak kamu sendiri hampir kehilangan nyawa?"

Suara pekikan Ranin menggema di udara. Sepinya lorong malam ini membuat suasana semakin tegang. Amarah Ranin kali ini begitu besar, tapi laki-laki di hadapannya sama sekali tidak gentar.

"Aku bahkan belum puas kasih dia pelajaran. Anak itu memang perlu dihajar supaya dia bisa lebih tau diri sama orang tua."

Di tempatnya, Biru mengepalkan tangan dan terkekeh pelan. Tidak percaya dengan apa yang didengarnya dari mulut Hendra. Bagaimana bisa ada manusia seperti Hendra di bumi ini? Jika ada satu orang yang harus lenyap, maka itu adalah Hendra, bukan Angkasa.

"Sakit jiwa kamu Hendra! Kamu itu manusia, kamu seorang Ayah, tapi kenapa hatimu nggak ada? Angkasa itu anak kamu, darah daging kamu. Sadar, Hendra!"

"Justru karena aku ayahnya, aku berhak mendidik dia dengan caraku sendiri. Dia itu sudah kurang ajar sama aku."

Rasanya emosi Biru sudah di puncak, tapi sekuat tenaga dia berusaha menahan diri untuk tidak mendekat dan menghajar manusia bernama Hendra itu. Biru tahu ini bukan urusannya, jadi dia tidak berhak melakukan apa-apa.

Yang bisa ia lakukan hanya merekam keributan di hadapannya, sampai kemudian ia melihat Ranin maju lalu mendaratkan satu tamparan keras di wajah Hendra dan mendorong kasar tubuh besar itu menyingkir dari sana.

"Pergi kamu dari sini! Sampai mati pun aku nggak akan biarin kamu menyentuh anakku lagi. Pergi dan persiapkan diri kamu, karena setelah ini aku benar-benar akan mengirim kamu ke penjara!"

Angkasa Tanpa WarnaWhere stories live. Discover now