Warna 22

12.1K 1.8K 679
                                    

Kejadian kemarin seolah tidak lagi berarti apa-apa bagi Angkasa. Semua berlalu begitu saja, bahkan Angkasa membuatnya terlihat seperti tidak pernah ada. Padahal, nyaris saja kemarin dia meregang nyawa.

Pagi ini, anak itu kembali menjadi Angkasa yang penuh warna. Senyumnya merekah di antara langkah yang ia bawa keluar dari kamar, sambil sesekali melantunkan nada yang ia hafal di luar kepala. Anak itu benar-benar seperti telah melupakan semua. Seolah kejadian kemarin hanya bunga tidur yang kemudian lenyap ketika ia membuka mata.

Tapi ... sebenarnya Angkasa tidak benar-benar lupa. Ia sadar betul yang kemarin itu nyata. Hanya saja, setelah mendengar seluruh umpat kesal Biru dan mendapatkan kembali akal sehatnya, Angkasa sadar kalau tindakannya kemarin itu gila. Sumpah, itu seperti bukan dirinya.

Jadi, ketika dia bangun pagi ini, dia putuskan untuk menelan bulat-bulat rasa malunya dan bertekad untuk melupakan semua. Anggap saja kemarin Angkasa sedang khilaf.

Langkah ringan Angkasa membawanya berhenti di depan pintu kamar Biru. Tidak ada yang berubah dari sana. Beku pintu itu masih menjadi sesuatu yang terlarang untuknya. Dan Biru masih menjadi Biru yang tidak pernah menganggap hadirnya.

Angkasa terkekeh pelan saat tanpa sadar ingatannya menghadirkan lagi potongan kalimat Biru kemarin. Bahwa ia harus tetap hidup untuk Biru. Untuk menanggung segala benci dan sumpah serapah cowok itu.

Tapi Angkasa tidak peduli. Baginya cukup mengetahui bahwa Biru masih ingin ia di sini. Terlepas dari apa alasan cowok itu memintanya hidup, yang terpenting bagi Angkasa adalah ia tahu kalau Biru membutuhkannya.

Sudut bibir Angkasa terangkat perlahan bersamaan dengan satu hela napas yang terbuang. Anak itu membulatkan tekad, sebelum akhirnya mengetuk pintu kamar Biru dengan brutal.

"Biru ... Biru ... sekolah, yuk!" pekiknya dengan nada ceria.

Namun, nasib sial memang selalu menimpanya. Siapa sangka pekikan riangnya barusan justru berhadiah lemparan sepatu dari dalam sana. Beruntung ada pintu kayu di depannya. Jadi, lemparan Biru hanya membentur daun pintu dan menghasilkan gaduh yang cukup menyentak Angkasa.

Tapi tetap saja jantung Angkasa rasanya hampir berpindah ke paha.

"Berisik!"

Suara itu tidak keras, tapi cukup untuk membuat Angkasa merengut di tempat. Benar-benar deh si Biru. Bawaannya ngegas mulu!

"Selow dong, Ru ... masih pagi ini. Jangan sampai kucing tetangga ngacir ketakutan gara-gara lo!"

Tepat seperti dugaannya, kalimat itu tidak mendapat balasan apa-apa. Angkasa bisa mendengar suara gaduh, tapi tidak tahu apa yang sedang Biru kerjakan di dalam sana. Dia mencoba menempelkan telinganya ke pintu, berharap bisa menebak apa yang Biru lakukan melalui suara yang dihasilkan, tapi tetap saja tidak jelas.

Angkasa mendengkus keras sebelum kembali menyerukan kalimatnya.

"Ru, nebeng lagi, ya? Motor gue masih di bengkel, belum ada duit buat ngambil. Kalau lo mau ngutangin sih nggak apa-apa."

"Males."

"Yaudah, makanya gue nebeng. Ya? Iya pokoknya."

"Enggak!"

"Iya aja lah. Kan satu tujuan juga, Ru."

"Gue bilang enggak ya enggak. Budeg ya lo?!"

Angkasa mencebikkan bibirnya kesal setelah mendengar jawaban Biru. Dia kemudian berbalik dan memilih berlalu dari sana, menghampiri meja makan di bawah hanya untuk mengambil selembar roti yang ia olesi selai, lalu membawanya keluar. Niatnya ingin mencegat Biru di depan pagar dan memaksa cowok itu memberinya tumpangan. Tapi saat matanya menangkap motor milik Biru di garasi, tiba-tiba saja Angkasa berhenti.

Angkasa Tanpa WarnaWhere stories live. Discover now