Warna 14

11.6K 1.7K 207
                                    

"Salah makan?"

Mata Angkasa melebar saat dokter yang baru selesai menangani Biru itu keluar dan menyampaikan diagnosisnya. Sejenak, Angkasa terpaku pada ingatan tentang beberapa waktu lalu. Kerutan dalam di kening Biru serta bagaimana tangan cowok itu meremas punggungnya sudah cukup menjelaskan betapa kesakitan ia saat itu.

"Iya, sepertinya ada sesuatu yang tidak bisa diterima oleh tubuhnya dalam makanan yang ia konsumsi. Kamu tau, apa yang terakhir kali dia makan?" Suara berat dokter lelaki itu kembali memecah pikiran Angkasa. Dengan cepat dia mengerjap dan menggelengkan kepala ragu.

"Saya nggak yakin, sih, Dok. Tapi tadi dia sempat ke kafe dan makan sesuatu di sana."

Dokter paruh baya itu mengangguk, sebelum akhirnya mengembangkan senyuman.

"Untungnya kamu cepat bawa dia ke sini, jadi tim medis bisa segera ambil tindakan. Saudara kamu sudah baik-baik saja sekarang. Tapi biarkan dia istirahat satu malam di sini. Besok pagi, saat kondisinya sudah pulih kembali, kamu bisa bawa dia pulang."

Angkasa menghela napas lega, meski gusar yang dari tadi mencekiknya belum sepenuhnya hilang. Setidaknya, sekarang, hela napasnya terasa jauh lebih ringan.

"Makasih, Dok," katanya. Dokter itu tersenyum sekali lagi sebelum akhirnya melangkah pergi, meninggalkan Angkasa sendiri di antara sepi yang mengisi lorong temaram tempatnya berdiri.

Cukup lama Angkasa diam dan meremat tangannya sendiri, membiarkan deru napasnya melebur bersama hening, sampai akhirnya ia membawa langkahnya mendekat ke pintu dan mendorongnya. Angkasa harus melihat Biru. Setidaknya ia harus memastikan sendiri keadaan cowok itu.

Ia melangkah hati-hati, sebelum akhirnya berhenti tepat dua langkah di sisi brankar. Pekat irisnya tertuju pada wajah teduh Biru. Begitu tenang dan seolah tanpa beban. Berbanding terbalik ketika ia tersadar, kelabunya terlalu pekat hingga semesta pun tidak bisa membuatnya sedikit berpijar.

Kini pejamnya terlihat damai. Tidak ada tajam seperti yang biasa ia perlihatkan. Tidak ada umpat kesal yang selalu berhasil membuat dada Angkasa rasanya seperti terbakar. Kali ini, Angkasa benar-benar melihat Biru sebagaimana mestinya. Sebagai sosok rapuh yang harus ia jaga. Biru, yang memang tidak pernah sekeras kelihatannya.

Angkasa menghela lagi napasnya yang berat dan menyesakkan. Hening tempat itu membuat desah napasnya terdengar lebih keras daripada seharusnya. Namun, setelahnya semua kembali hampa. Sampai kemudian Angkasa menarik kursi di sisi brankar dan duduk di sana.

Angkasa tidak pernah suka tatapan tajam Biru. Tapi jika disuruh memilih, ia lebih suka Biru memakinya seperti biasa, daripada harus melihatnya kesakitan seperti tadi. Angkasa benci melihat Biru sakit, karena kesakitan cowok itu adalah siksa paling nyata untuknya. Angkasa tahu Biru sudah banyak terluka, tidak seharusnya dia tersiksa lagi dengan sakit yang berbeda.

Angkasa melirik sekilas waktu di ponselnya. Sudah lebih dari setengah jam sejak ia menghubungi Praja. Lelaki itu janji akan datang segera dan Angkasa yakin sebentar lagi pasti akan tiba. Jadi, Angkasa putuskan untuk menunggu di sini sampai lelaki itu benar-benar datang. Lagipula, ia tidak bisa meninggalkan Biru sendirian.

Dia menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku dan beralih lagi pada Biru. Tangannya bergerak menaikkan selimut yang menutupi tubuh cowok itu. Ia biarkan detik jarum jam melangkah bebas, berharap waktu yang berlalu dapat membawa pergi ketakutannya.

"Jangan sakit, Ru. Lo udah terlalu sering sakit," gumamnya.

Setelah itu, dia menyandarkan kepalanya di atas lipatan tangannya di sisi brankar kemudian memejam. Dia biarkan hening memeluk, sambil diam-diam berharap agar Biru tidak tiba-tiba bangun lalu menendangnya keluar. Angkasa benar-benar lelah. Dia juga ingin istirahat sebentar. Setidaknya sampai Praja datang.

Angkasa Tanpa WarnaWhere stories live. Discover now