Warna 28

13.8K 1.9K 827
                                    

Dari awal, Biru memang tidak pandai menunjukkan apa yang sesungguhnya ia rasa. Bagi Biru, luka adalah hal biasa yang telah menemaninya sejak lama. Cowok itu terlalu hafal dengan sakit yang dihasilkan ketika belati tak kasatmata itu menikam jantungnya. Terlalu terbiasa dengan sayatan panjang yang membekas dan menyakiti hatinya. Jadi, saat Ranin akhirnya mengungkap satu kenyataan yang selama ini menjadi rahasia, cowok itu tidak bereaksi apa-apa.

Biru memilih kembali ke rumah dan menghabiskan separuh harinya di dalam kamar. Tidak ada yang dia lakukan di sana selain diam dan merenungkan semua. Mencoba menggali lagi segala ingatannya tentang bagaimana selama ini ia hidup bersama orang-orang yang ternyata tidak pernah menikah atas dasar cinta. Keluarga yang Biru anggap sempurna, kenyataannya tidak pernah sesempurna yang ia kira. Kalau begitu, bukankah kehadirannya di dunia juga bukan sepenuhnya keinginan mereka?

Sekali lagi, Biru mencoba memahami arti hadirnya bagi Yasinta dan Praja. Walau dengan begitu ia justru merasa lubang besar kembali membekas di dadanya. Biru merasa tidak diharapakan. Lebih dari itu, dia merasa hidupnya tidak pernah berguna bagi semua orang.

Pekat iris cowok itu beralih pada pigura kayu di sisi meja dan meraihnya. Wajah teduh Yasinta yang Biru temukan di sana seolah menambah remasan kuat di jantungnya. Seandainya dinding yang Biru bangun sejak awal untuk melindungi dirinya tidak kuat, dia mungkin sudah benar-benar hancur sekarang. Hancur dan menjadi kepingan. Tidak bisa lagi disatukan.

Terima kasih kepada segala pengkhianatan dan kehilangan yang telah mengajari Biru arti sebuah luka, berkatnya kini Biru terbiasa dengan sakit sampai dia tidak bisa lagi merasakan apa-apa.

Cowok itu terpaku lama pada senyum yang Ibunya perlihatkan seolah wanita itu benar-benar bahagia. Sampai kemudian suara Ranin kembali bergema di tengah sepi ruang ini. Lalu semua berubah begitu saja. Senyum Yasinta dalam foto di genggamannya seperti hanya ilusi saja. Tidak pernah nyata. Detik itu Biru sadar bahwa semua yang ia lihat selama ini memang hanya pura-pura. Pertama Angkasa, dan sekarang orang tuanya.

Tawa Yasinta hanya sekadar untuk menutupi luka di hatinya. Karena dari awal, wanita itu tidak pernah mendapatkan cinta Praja.

"Jadi, selama ini Mama juga pura-pura?"

Hening tempat itu menjadi jawaban atas pertanyaan Biru. Sedetik kemudian cowok itu mendecih, menertawakan betapa menyedihkann ia selama ini. Kenapa takdir bisa sekejam ini terhadap seseorang?

"Kalau emang sakit, seharusnya dari awal Mama tinggalin Papa. Buat apa hidup sama orang yang hatinya buat orang lain?"

Entah dari mana datangnya, rasa panas yang Biru benci itu perlahan menjalar di dada. Dingin mata cowok itu mencair, berganti bingkai kaca yang siap pecah kapan saja. Namun, Biru tetaplah Biru yang tidak akan membiarkan dirinya jatuh di hadapan semesta. Apa yang cowok itu rasa adalah rahasia. Jadi walaupun pekat iris itu menampilkan luka, datar wajahnya tetap tidak menunjukkan apa-apa.

Tapi siapa yang bisa menduga bahwa jiwa cowok itu kini tidak lagi sempurna? Jika saja rasa sakit dapat dilihat dengan mata, maka semua orang pasti sudah melihat betapa hancur dan kacaunya Biru sekarang.

Menit berlalu begitu saja tanpa terusik jeda, sementara angin dari luar berembus kasar sampai ke dalam ruangan. Seolah menyampaikan isyarat yang menuntut untuk dipecahkan, sayangnya Biru tidak paham. Jadi cowok itu hanya menghela napas panjang dan memejam, berusaha menikmati ngilu yang membuat dadanya seperti terbakar.

"Kenapa semua jadi kayak gini, Ma? Hidup Biru rasanya berat banget."

Bersamaan dengan berakhirnya kalimat itu, Biru membuka mata dan menatap lagi wajah Yasinta. Seketika getar hebat merambat di dada Biru, membakarnya dengan sesuatu bernama rindu. Cowok itu kehilangan kerja normal jantungnya selama beberapa detik, sebelum akhirnya suara daun pintu yang dibuka dari luar memecah semua.

Angkasa Tanpa WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang