Warna 21

13K 1.8K 776
                                    

Jalanan sore ini lengang. Tapi Biru merasa sebaliknya. Belum apa-apa, jarak yang ia tempuh terasa lebih panjang dari biasa. Cowok itu mempercepat laju motornya tepat setelah lampu merah berganti warna, tidak tahu juga kenapa. Yang pasti, ia begini setelah pesan singkat dari Angkasa masuk ke ponselnya.

Entah sejak kapan seorang Angkasa sanggup membuat Biru meninggalkan segalanya hanya untuk berlari pulang, melupakan sejenak gemerlap malam yang sejauh ini selalu bisa membuatnya nyaman.

Biasanya, Biru baru akan pulang setelah ia rasa malam mulai membosankan. Tapi kali ini, hanya karena sebaris pesan yang anak itu kirimkan, Biru meninggalkan kebiasaannya.

Ru ... tau nggak, apa yang bisa bikin orang nggak kelihatan selain ngumpet di bawah ranjang?
Jawabannya ... ngilang. Haha

Btw, gue dari habis lo berangkat nggak keluar rumah lagi. Pagar depan gue kunci. Nanti kalau pulang buka sendiri ya. Bawa kunci serep, kan?

Ini gila! Hanya karena lelucon receh itu, Biru seperti kehilangan akal sehatnya. Entah bagaimana kalimat itu menjelma layaknya mantra yang menarik Biru untuk pulang dengan segera.

Perasaannya tak tenang. Terakhir kali Biru merasakannya adalah ketika hari itu Yasinta menghilang. Hari yang ia tandai sebagai hari paling kelam dimana ia akhirnya kehilangan segalanya. Dan sekarang, Biru kembali merasakan hal yang sama. Sebuah firasat tentang kehilangan.

Cowok itu segera melompat turun dari motor dan membuka gembok pagar dengan kunci yang tidak pernah lupa ia bawa. Kebiasaannya pulang malam membuat ia harus selalu membawa benda itu kemana-mana. Untuk jaga-jaga seandainya pagar besi rumah itu sudah terkunci ketika ia pulang larut malam dan semua orang sudah lelap dalam pejam.

Setelah memarkir motornya di garasi, Biru bergegas membawa langkahnya ke dalam. Dingin menyambutnya tepat setelah ia melewati pintu. Dingin yang sudah sangat Biru kenal, tapi entah mengapa kali ini terasa lebih mencekam. Ketika dia membawa langkahnya masuk lebih dalam, sepi di sana seperti membangkitkan kembali ingatan Biru tentang hari kelam yang tidak akan pernah ia lupakan. Hari dimana ia menemukan tubuh Yasinta membeku tanpa pergerakan. Lalu dunianya hancur berantakan.

Biru seperti merasa de javu. Tapi ia sendiri masih tidak mengerti kenapa.

Tanpa perintah dari siapa-siapa, kaki jenjang Biru justru menuntunnya menuju tangga. Tapi tidak berhenti di kamarnya. Tidak pula di kamar Angkasa. Dia hanya berdiri di antara keduanya, menatap datar pintu kamar Angkasa yang terbuka hingga ia bisa melihat jelas isi di dalam sana.

Kening Biru mengernyit sementara benaknya mulai menduga-duga. Kamar itu kosong. Juga sepi. Sama sekali tidak ada tanda-tanda keberadaan sosok Angkasa. Aneh. Atau mungkin perasaan Biru saja?

Detik selanjutnya, semesta seolah menyadarkan Biru tentang sesuatu. Pesan singkat yang Angkasa kirimkan beberapa saat lalu menjadi arah pikirannya tertuju.

Ru ... tau nggak, apa yang bisa bikin orang nggak kelihatan selain ngumpet di bawah ranjang?
Jawabannya ... ngilang. Haha

Menghilang.

Menghilang.

Menghilang.

Tubuh Biru seketika menegang. Dalam diamnya, dia mencoba memahami semua. Cukup lama, sampai akhirnya ingatannya kembali menyeret cowok itu pada kejadian semalam. Ketika ia terakhir melihat Angkasa sebelum anak itu menghilang. Biru ingat betul apa yang ia katakan.

"Atau lebih baik, lo pergi aja dari sini. Tempat lo bukan di sini."

Detik itu, tanpa pikir panjang Biru menerobos kamar di depannya. Tidak lagi peduli pada peraturan yang ia buat sendiri bahwa kamar Angkasa adalah tempat paling terlarang untuknya. Biru hanya ingin memastikan sesuatu. Namun, hening ruang itu seolah mematahkan harapannya. Biru terpaku setelah membuka pintu kamar mandi dan tidak menemukan apa-apa selain hampa.

Angkasa Tanpa WarnaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon