Warna 15

11.5K 1.7K 340
                                    

Biru akhirnya pulang, setelah berdebat panjang dengan dirinya sendiri. Cowok itu menghabiskan satu malam panjang hanya untuk memikirkan semua, mencoba menerka apa saja yang mungkin akan ia terima jika ia memutuskan kembali. Tapi, sejak awal memang dia tidak berniat untuk pergi. Biru hanya ingin melarikan diri karena jengah, bukan meninggalkan rumah  selamanya.

Walau kenyataannya, Biru memang selalu sendirian. Bahkan di rumah itu, dimana ada tiga orang lain di dalamnya, Biru tetap merasa kesepian.

Jangan kira Biru mau kembali ke rumah karena Praja. Tidak! Bujuk rayu lelaki itu bahkan tidak cukup kuat untuk mengetuk pintu hati Biru yang sudah ia tutup rapat sejak kepergian Yasinta. Lelaki itu tidak pernah memiliki kekuatan apa pun untuk meluluhkannya. Biru pulang karena memang dia ingin pulang, bukan karena siapa-siapa.

Namun, tidak bisa dipungkiri juga, cowok itu tertarik dengan satu pernyataan Praja. Bahwa lelaki itu punya sesuatu untuk disampaikan padanya. Biru mencoba tidak peduli, tapi nalurinya berkata sebaliknya. Biru ingin tahu, dan dia tidak akan munafik mengakui itu.

Tapi sejak ia kembali menginjakkan kaki ke rumah ini tadi pagi, tidak ada yang Praja katakan. Lelaki itu diam dan Biru tidak ingin memulai obrolan. Dia biarkan jarak kembali membentang di antara mereka. Jarak yang sengaja Biru ciptakan hanya agar dirinya tidak kembali terluka. Karena setiap berhadapan dengan Praja, ia tahu luka akibat kepergian Yasinta akan kembali terbuka. Setiap matanya beradu dengan milik Praja, Biru seperti diingatkan kembali tentang bagaimana lelaki itu mengkhianati Ibunya.

Sekarang, yang cowok itu lakukan hanya mengurung diri bersama sepi di dalam kamarnya. Menghabiskan setiap detik yang ia punya untuk menikmati jingga yang perlahan mendekat ke cakrawala. Karena selain menjadi penikmat fajar, Biru juga seorang pecandu senja. Entah bagaimana jingga keemasan di pelukan angkasa itu bekerja hingga sanggup membuat ia terpaku sejenak untuk menikmatinya kemudian terlena.

Cih! Benar-benar definisi manusia kesepian yang menyedihkan.

Biru berdecih singkat sebelum akhirnya menutup kembali pintu balkonnya. Senja semakin tenggelam di batas hari dan Biru tidak punya alasan untuk berdiri di sana lagi. Cowok itu memutuskan untuk kembali ke ranjang dan membanting tubuh lelahnya ke sana.

Sejenak, hening tempat itu berhasil membawa pikirannya pergi. Tiba-tiba sosok palsu Angkasa muncul di benaknya tanpa permisi. Biru tidak tahu kenapa pikirannya tertuju ke sana, tapi sejak ia mendapatkan kesadarannya kembali semalam, bayang sosok itu seperti tidak mau hilang.

Biru memang tidak sepenuhnya sadar saat Angkasa memapahnya keluar dari kafe dan menghambur ke jalanan, karena jika ia dalam keadaan sadar seratus persen, sudah pasti ia akan menolak uluran tangan anak itu dan memilih pergi sendirian. Namun, dalam situasi itu, Biru masih bisa merekam jelas apapun yang anak itu lakukan. Dia bisa mendengar Angkasa mengumpat karena panik, dia bisa menangkap panggilannya berkali-kali, dan satu lagi, dia juga sempat beberapa kali mendengar Angkasa mendesis saat tanpa sadar tangannya meremat punggung anak itu selama mereka duduk di dalam taksi.

Biru yakin rematannya tidak kuat. Tidak cukup kuat untuk membuat seseorang meringis karena sakit. Tapi kenapa anak itu terlihat kesakitan sekali?

Lagi, pikiran itu membawa Biru termenung lama. Sampai suara pintu yang dibuka membuyarkan semua. Dengan cepat cowok itu menoleh hingga matanya beradu dengan milik seorang wanita yang tidak pernah Biru harapkan hadirnya.

"Ngapain?" tanya Biru sebelum wanita itu melangkah lebih jauh ke dalam. Karena selain Angkasa, kamar Biru juga terlarang untuk Ranin.

"Mama cuma mau antar ini," jawab Ranin sembari mengangkat nampan kecil berisi segelas minuman yang ia bawa.

Angkasa Tanpa WarnaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora