Warna 7

14.2K 1.9K 435
                                    

Satu malam menghilang ternyata masih belum cukup membuat Biru merasa tenang. Setiap bayang wajah Ranin dan putranya muncul dalam ingatan, saat itu juga seluruh emosi Biru seperti dibangkitkan. Ia tidak suka dipaksa mengingat luka yang orang-orang itu ciptakan, tapi dunia memang sesenang itu mempermainkan perasaannya. Selalu saja ada alasan untuk membuat Biru mengingat lukanya kemudian jatuh semakin dalam oleh siksa yang bahkan tidak pernah ia temui ujungnya.

Semua ini karena Angkasa. Itu yang selalu Biru tanam di kepala. Seandainya anak itu bisa lebih tegas menolak Praja, mungkin sampai hari ini semua masih baik-baik saja. Ranin tidak pernah bersanding dengan Papanya. Mama masih di sisinya, dan Biru, masih menjadi Biru yang bahagia.

Biru terkekeh miris. Ingatannya membawanya kembali pada hari dimana ia kehilangan Yasinta untuk selamanya. Seketika dadanya penuh dengan rasa sakit yang menyesakkan. Sakit yang membuatnya tak ingin lagi merasakan apa-apa.

Perhatian Biru teralihkan oleh langit yang perlahan berganti warna. Dari tempatnya duduk sekarang, ia bisa melihat bagaimana pendar kelam sang fajar menembus kaca jendela. Cowok itu mengembuskan napas keras lalu bangkit. Pagi sudah datang. Artinya, kehidupan juga telah kembali dimulai. Namun, faktanya kehidupan Biru telah berakhir sejak ia kehilangan Yasinta. Jadi, apa yang harus ia mulai?

Cowok itu meraih benda putih panjang dari atas meja lalu membakarnya. Kakinya menuntunnya ke sisi jendela untuk menikmati bagaimana sang fajar menumpahkan warna. Biru mematung lama, menatap hampa langit fajar yang tak lebih kelam dari hatinya.

Sejenak, cowok itu memejamkan mata, berusaha merasakan lagi kehadiran Yasinta di sisinya.

"Kalau Biru udah besar nanti, Biru harus jadi kayak Papa. Harus jadi lelaki tangguh yang bisa melindungi keluarganya. Papanya Biru itu orang yang hebat. Biru mau 'kan jadi kayak Papa?"

Dialog itu sudah tertanam dalam benak Biru dengan begitu kuatnya. Biru ingat, saat itu Yasinta bertanya sambil membelai puncak kepalanya. Biru juga ingat apa jawabannya. Saat itu Biru mengangguk, sembari menanamkan tekadnya dalam hati, bahwa ia harus menjadi seperti Papa. Biru masih berusia sepuluh tahun waktu itu, dan yang ia tahu, Papa adalah sosok se-luar biasa itu. Tidak ada keraguan dalam diri Biru untuk menjadi seperti Papa. Tapi sekarang, ketika ia telah merasakan sendiri bagaimana pedihnya kehilangan, Biru menyesali jawabannya dulu.

"Enggak, Ma. Aku nggak mau jadi laki-laki brengsek kayak Papa," gumamnya pada udara hampa pagi itu.

Baginya, tidak ada lagi sosok Papa yang dulu pernah sangat ia kagumi lebih dari siapapun di dunia. Tidak ada lagi sosok luar biasa yang ingin ia hormati seumur hidupnya. Semua karena Papa yang telah menghancurkan segalanya.

Biru menyesap lagi tembakau di tangannya, berusaha mengisi kembali rongga di dalam dirinya. Sampai kemudian daun pintu kamar itu terbuka dan langkah seseorang menggema di telinga. Biru bisa mendengar sosok itu meletakkan sesuatu di ranjang, tapi ia sama sekali tidak menoleh ke belakang. Fajar sebentar lagi hilang, Biru tidak ingin melewatkan sedetik saja detik berharga dimana jingga di timur sana berganti menjadi terang.

"Seragam buat lo ke sekolah. Kebetulan gue ada dua."

Itu Sakti. Orang yang telah berbaik hati menampungnya. Orang yang pintu rumahnya selalu terbuka untuk ia tuju ketika ia mulai lelah dengan semua.

"Padahal rencananya gue mau bolos hari ini."

"Silakan. Tapi gue ogah temenan sama lo lagi kalau lo tinggal kelas gara-gara kebanyakan bolos."

Biru mematikan ujung rokoknya lalu melempar benda itu keluar jendela, tepat ketika sang fajar sepenuhnya hilang dari cakrawala. Setelahnya dia berbalik dan membawa langkahnya kembali ke ranjang yang sempat ia tinggalkan.

Angkasa Tanpa WarnaWhere stories live. Discover now