Warna 19

10.8K 1.8K 591
                                    

Angkasa masih diam di sisi pintu gerbang ketika semesta mulai menghitam. Dingin angin sore itu bertiup kasar dari sekitar, menyadarkan Angkasa bahwa hujan mungkin akan segera datang.

Cowok itu berdecak kesal dan melirik lagi ke jalanan. Kenapa, sih, ojek online yang dia pesan nggak datang-datang? Tidak tahu apa kalau Angkasa sedang dikejar waktu? Dia harus buru-buru, sebelum kena serangan api lagi dari Biru.

Angkasa baru saja menerima pesan bahwa jam tangan yang ia titipkan tadi pagi sudah selesai diperbaiki, jadi sekarang ia akan menjemputnya lalu pulang sebelum Biru tiba di rumah dan sadar kalau jam-nya menghilang. Pokoknya, apa pun yang terjadi, Angkasa harus tiba di rumah sebelum Biru. Bisa mati dia kalau sampai Biru tahu jamnya sedang dia curi.

Tapi memang semesta dan kawan-kawannya itu tidak pernah berpihak pada Angkasa. Setelah tadi pagi dia terlambat dan harus menerima hujatan darimana-mana, kali ini kesabarannya masih harus diuji lagi oleh ojek online yang sebenarnya sudah ia pesan sepuluh menit sebelum bel pulang menggema tapi sampai sekarang belum datang juga.

Angkasa mendengkus keras, sampai suara motor yang ia kenal mengambil alih fokusnya. Dengan cepat cowok itu menoleh dan mendapati sosok Biru melaju begitu saja, melewati pintu gerbang, lalu melesat di jalanan. Tidak ada yang bisa Angkasa lakukan selain diam sembari memandangi jarak yang anak itu bentangkan.

Sejenak, pikirannya melayang lalu jatuh pada potongan kejadian tadi pagi, saat ia berdiri di tengah lapangan dan menjadi tontonan semua orang. Angkasa ingat bagaimana mata itu ikut menatapnya tajam, serta wajahnya yang sama sekali tidak terpancar rasa kasihan. Di antara kerumunan manusia yang mengoloknya, kehadiran Biru benar-benar menjadi yang paling menyakitkan bagi Angkasa.

Dingin mata itu menusuk lebih tajam dari semua yang ada di sana. Cowok itu tidak mengatakan apa-apa, tapi entah mengapa, hanya dengan melihat hadirnya saja, Angkasa bisa dengan mudah mendapatkan kesakitannya.

Terlebih saat Angkasa melihat cowok itu berbalik lalu pergi begitu saja. Meninggalkan dirinya yang kepayahan, sendirian. Angkasa jelas kecewa, tapi memangnya apa yang ia harapkan dari kehadiran Biru di sana? Pembelaan? Cih! Seluruh caci yang ia terima tadi pagi itu juga hasil dari apa yang telah ia dan Ibunya lakukan pada Biru. Kalau ada yang harus dibela di sini, tentu itu adalah Biru. Bukan dirinya.

Angkasa menarik napas dalam dan membuangnya bersama dingin yang perlahan datang. Hingga satu tepukan di bahu kembali membuat fokusnya teralihkan. Wajah teduh Alva menyambutnya tepat ketika ia menolehkan kepala.

"Nggak bawa motor?" Tanpa basa-basi Alva bertanya. Cowok itu memang tidak suka membuang waktu terlalu lama untuk sesuatu yang sia-sia. Itu juga salah satu yang Angkasa suka dari Alva.

Angkasa menggeleng pelan dan memasang senyuman. Masih senyum yang sama. Senyum yang selalu terlihat nyata, juga penuh dengan warna. Senyum yang hanya bisa ditemukan dalam diri seorang Angkasa.

"Lagi ngambek, minta dielus-elus dulu sama abang bengkel," jawabnya.

Alva hanya mengangguk dan tersenyum singkat. "Mau bareng?"

Pekat mata Angkasa memandang ke seberang jalan sebentar, tepat pada mobil hitam yang ia kenal betul sebagai milik Ibu dari temannya itu, sebelum dia kembali menatap Alva dan menggeleng ringan.

"Nggak usah, duluan aja. Gue udah persen grab, kok."

Ada jeda beberapa saat setelah Angkasa menyampaikan penolakannya. Iba terpancar melalui bagaimana cara Alva menatap Angkasa, tapi cowok itu tidak menyadarinya. Dia justru kembali memerhatikan jalanan, berharap apa yang ia tunggu segera datang.

Sampai kemudian suara Alva kembali mematahkan jeda yang memeluk mereka. Memaksa Angkasa untuk meletakkan perhatiannya ke sana.

"Lo oke, Sa?"

Angkasa Tanpa WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang