Warna 8

13.1K 1.8K 263
                                    

Bagi Biru, membuka diri sama saja seperti memberi kesempatan orang lain untuk menikam dadanya. Sayang, hari ini dia telah membuka pintu bajanya untuk Angkasa. Membiarkan anak itu mendekat dan tidak melarangnya menembus dinding tak kasatmata yang ia ciptakan adalah sebuah kesalahan.

Biru tahu Angkasa punya belati tajam yang sanggup menyayat dadanya. Atau tombak runcing yang sanggup menghancurkan apa yang selama ini ia jaga. Biru tidak tahu kenapa, tapi setiap mata anak itu beradu dengan miliknya, rasanya ia seperti berkaca. Ia bisa menemukan potongan luka yang kemudian tertutup sempurna oleh topeng cerianya. Biru juga tahu, anak itu punya seribu cara yang bisa saja akan meluluhkannya.

Jadi, sebelum apa yang Biru pertahankan selama ini hancur begitu saja, ia putuskan untuk mengakhiri semuanya, segera. Ia ingin Angkasa kembali menjaga jarak dengannya. Seperti seharusnya.

"Turun!" perintah Biru, tepat setelah roda motornya berhenti di garasi. Dia melepas helm dengan kasar, sementara di belakangnya, Angkasa segera melompat turun sebelum kembali mendapat omelan yang tidak ingin ia dengar.

"Nah, kalau kayak gini, kan, enak, Ru. Kitanya kelihatan akur, pulang sekolah boncengan. Keuntungan kedua, kita bisa kurangin polusi udara plus hemat BBM karena cuma pakai satu motor aja. Sering-sering lah, Ru, kayak gini."

Angkasa kembali berisik dengan celotehnya yang tidak pernah Biru suka. Baginya, anak itu tidak lebih dari manusia bermuka dua yang hobi berpura-pura. Sekalipun jarak mereka telah terpangkas menjadi lebih pendek dari sebelumnya, keadaan di sana masih sama. Biru masih dan akan tetap memandang Angkasa sebagai bencana.

Cowok itu berpaling sejenak sebelum kembali menatap tajam Angkasa di hadapannya.

"Ini pertama dan terakhir gue biarin lo deketin gue. Nggak akan ada lagi yang kedua. Gue harap kali ini lo ngerti bahasa manusia."

Penegasan itu berhasil membuat Angkasa diam. Tapi hanya sebentar, tidak lebih dari tiga detik sampai kalimatnya kembali terlontar. Bukan Angkasa namanya kalau tidak melawan.

"Kenapa, sih, lo itu galak banget? Maksud gue, kan, baik. Generasi milenial itu harus pinter jaga bumi dan lingkungan. Gitu kata Pak Rohim."

"Bacot! Mana dompet gue?"

Angkasa mendengkus. Tapi tetap memberikan apa yang Biru minta.

Biru hendak meraih benda itu, namun dengan cepat Angkasa menjauhkannya. Amarah Biru yang sudah memuncak rasanya jadi ingin meluap saat itu juga.

"Apa lagi, sih?!" bentaknya.

"Janji dulu, lo anteng di rumah habis ini. Jangan kabur-kaburan lagi!"

"Gue cuma nginep di tempat Sakti, nggak kabur."

"Tapi nggak izin sama orang rumah dan nggak jawab pas dihubungin. Itu sama aja kayak lo kabur."

Biru memutar bola mata, jengah menghadapi Angkasa yang selalu punya banyak cara untuk membakar emosinya. Sepertinya anak itu memang diciptakan hanya untuk membuat Biru kesal saja.

Tapi Biru tetap lah Biru yang tidak pernah ingin dijangkau oleh Angkasa. Dia ingin birunya tetap menjadi kelabu yang tidak tersentuh warna. Jadi, detik selanjutnya, ia putuskan untuk kembali mengakhiri pembicaraan tak perlu sore itu dan melenggang pergi dari sana. Biru tidak ingin lama-lama ada di hadapan Angkasa.

"Terserah," katanya. Dengan cepat Biru merebut dompet miliknya dari tangan Angkasa. Kemudian melangkah pergi setelah meninggalkan tatapan tajam yang sudah terlalu biasa.

"Di kamar lo sekarang ada CCTV, Ru, jadinya kalau lo kabur pasti ketahuan. Makanya lo jangan kabur. Gue pantau lo 24 jam."

Biru mendengar pekikan Angkasa, tapi dia tak peduli. Lagipula, dia tahu anak itu hanya bicara omong kosong saja. Kalaupun memang benar ada CCTV di kamarnya, memangnya Biru peduli apa? Dia akan tetap pergi ketika dia ingin pergi.

Angkasa Tanpa WarnaWhere stories live. Discover now