Warna 30

14.7K 2K 1K
                                    

Entah sejak kapan suara detik jarum jam yang berjalan menjadi terasa begitu melegakan. Padahal biasanya Biru tidak pernah merasa nyaman.

Hampir satu jam, tapi cowok itu masih tetap diam. Entah alasan apa pula yang menahan cowok itu untuk tetap bertahan di dalam ruang rawat Angkasa bahkan ketika ada Ranin di sana. Berkali-kali logika cowok itu menyerukan perintah untuk pergi, tapi nuraninya tidak pernah sejalan hingga akhirnya dia memilih untuk tetap berada di sini.

Tidak banyak yang Biru lakukan. Dari tadi, ia hanya duduk di sofa sudut ruangan dan memejamkan mata. Berpura-pura tidur hanya untuk menghindari obrolan dengan dua manusia lain di sana. Sejujurnya, dia hanya tidak ingin bicara dengan Ranin. Karena meski ia mulai terbiasa dengan Angkasa, bukan berarti ia juga sudah melupakan semua yang wanita itu lakukan.

Biru tahu Ranin memang datang lebih dulu ke kehidupan Praja, tapi wanita itu sudah memutuskan untuk pergi sejak semua berakhir begitu saja. Lalu tiba-tiba dia kembali lagi dan mengusik hidup Praja ketika lelaki itu sudah berkeluarga. Meski Biru bisa mengerti alasan wanita itu melakukannya, tetap saja memaafkan tidak pernah sesederhana mengedipkan mata.

Di mata Biru, Ranin tetap salah. Dan kesalahan itu akan selalu menjadi alasan Biru tidak menerima hadirnya.

Suara denting sendok yang Ranin gunakan untuk menyuapi Angkasa kembali bergema di antara hening, lalu obrolan hangat ibu dan anak itu kembali mengalir. Dalam diamnya, Biru ikut merekam semua. Dia bahkan tahu kalau mereka sengaja mengecilkan suara hanya agar tidak mengusik tidurnya. Tapi percuma. Karena dari awal, Biru memang sepenuhnya terjaga.

Satu detik Biru bisa mendengar keduanya tertawa, detik selanjutnya dia bisa menangkap nada serius dari cara mereka bicara. Kemudian, telinganya seperti dihadapkan langsung pada getar tak biasa dalam gema suara Angkasa. Sesuatu yang sejenak berhasil membuatnya terpaku dan kembali merekam semua.

Topik obrolan dibanting begitu saja dan untuk pertama kali Biru menyaksikan sendiri bagaimana topeng Angkasa terbuka.

"Mulai sekarang, Mama nggak mau kamu berhubungan lagi sama Papamu, apapun alasannya. Mama juga minta sama kamu, tolong, kali ini jangan halangi Mama untuk bertindak sebagaimana mestinya. Bagaimanapun juga, Papa kamu harus dihukum sebagaimana mestinya, Sa."

"Aku bukannya nggak mau hargain keputusan Mama. Tapi ... nggak bisa, ya, masalah ini diselesin baik-baik aja?"

"Nggak bisa! Hendra itu sakit, Sa. Nggak akan bisa diajak bicara baik-baik. Satu-satunya yang bisa menghentikan dia cuma hukum. Nggak ada cara lain."

"Tapi gimanapun juga dia Ayahku."

"Nggak ada Ayah yang tega menyakiti anaknya sendiri! Mama mohon, Angkasa ... ikuti saja keinginan Mama kali ini. Mama lakuin semuanya juga demi kamu. Mama nggak mau kamu disakitin lagi sama laki-laki sakit jiwa seperti Ayahmu itu!"

Dalam diamnya, Biru mengumpat. Dia tahu Angkasa itu bodoh, tapi tidak mengira akan sebodoh ini.

Jika itu Biru, sudah pasti dia akan memenjarakan Hendra sejak lama, bukan hanya diam dan membiarkan dirinya disakiti sedemikian rupa. Biru bahkan rela melupakan fakta tentang apa kedudukan lelaki itu di hidupnya sejak pertama kali tangan lelaki itu menggoreskan luka ke tubuhnya. Bagi Biru, tidak pernah ada kata wajar untuk orang tua yang tega melukai anaknya sendiri.

Tapi Angkasa itu memang bodoh. Biru sudah bersumpah, kalau sampai dia mendengar Angkasa menolak keinginan Ranin untuk memenjarakan Hendra, Biru sendiri yang akan memastikan anak itu babak belur di tangannya.

Ada jeda cukup panjang yang membentang sejak Ranin selesai bicara. Sepi ruang itu benar-benar menyiksa, sampai kemudian Biru bisa menangkap kembali suara Angkasa lengkap dengan helaan napas beratnya.

Angkasa Tanpa WarnaWhere stories live. Discover now