Biru menoleh dan mendapati sosok tegas Praja datang dengan wajah yang tidak bisa ia baca. Namun, dengan cepat Biru kembali berpaling dan meletakkan foto Yasinta kembali ke tempat semula.

Praja mendekat lalu duduk di sisinya, tapi Biru tidak bereaksi apa-apa. Dia hanya diam dan membiarkan deru napas lelaki itu mengisi keheningan. Entah mengapa menatap lelaki itu kini terasa semakin menyakitkan.

"Ranin udah cerita. Sekarang kamu tau semuanya."

Rasanya Biru ingin menutup telinga ketika Praja mulai bicara. Tapi di saat yang sama, ia juga tidak munafik untuk mengakui bahwa ia ingin mendengar semuanya. Biru ingin tahu semua yang selama ini lelaki itu tutup rapat darinya. Dia ingin tahu apa yang lelaki itu rasa. Dia sungguh ingin mendengar semua dari mulut Praja.

Jadi, yang bisa Biru lakukan saat ini hanya diam dan menjaga bibirnya untuk tidak menyela. Berharap Praja akan mengatakan segalanya tanpa ia perlu meminta. Walau Biru tahu betul kemungkinannya setelah ini ia akan patah lebih dari sebelumnya. Tidak apa-apa. Cowok itu bahkan sudah hancur sejak pertama kali ia mengetahui kebenaran tentang hidupnya.

Biru mendecih sinis, sebelum akhirnya membuka suara.

"Tentang semua kebohongan Papa." Lalu pandangannya tertuju pada Praja. Mata tua itu begitu sendu, tidak seperti biasanya. Entah apa yang membuat lelaki itu tidak terlihat seperti Praja yang selama ini Biru kenal.

"Kenapa, Pa?" tanya Biru setelah membiarkan jeda singkat memeluk mereka. Getar lirih dalam penggalan suaranya betul-betul sejalan dengan luka yang menguar di matanya.

"Kenapa Papa pertahanin Mama selama ini kalau nyatanya kalian nggak pernah bahagia? Kenapa juga ... kalian biarin aku ada kalau nyatanya pernikahan kalian nggak pernah didasari cinta?" lanjutnya.

Mendengar itu, Praja buru-buru menggeleng. Biru tidak tahu apa artinya, tapi mata lelaki itu seperti mengisyaratkan sebuah penolakan.

"Kamu salah. Papa bahagia, Ru. Selama dua puluh tahun, Papa nggak pernah menyesal menikahi Mama kamu."

"Nggak usah munafik, Pa! Kenyataannya, Papa nikahin Mama karena terpaksa. Bukan karena Papa bener-bener cinta. Kenyataan yang lainnya, bahkan setelah Papa punya keluarga, hati Papa tetep buat orang lain."

"Iya, Papa akui, memang benar Papa nggak pernah bisa melupakan Ranin. Tapi bukan berarti Papa nggak bertanggung jawab sama Mama kamu. Seiring berjalannya waktu, Papa mulai bisa menerima dia, dan pelan-pelan menyayanginya. Ketika kamu lahir, Papa benar-benar mencintai kalian berdua sebagaimana seharusnya seorang kepala keluarga mencintai keluarganya, Ru."

"Kalau gitu kasih tau aku kenapa akhirnya Papa tetep milih mantan pacar Papa itu? Kalau emang Papa bahagia sama kita berdua, seharusnya Papa bisa jaga kepercayaan kita. Seharusnya Papa bisa jaga hati Mama, bukan malah nyakitin Mama dan bikin keluarga kita jadi berantakan kayak sekarang!" Tanpa sadar Biru meninggikan suara. Mata cowok itu berkaca-kaca, tapi sekuat tenaga dia masih berusaha menjaga tangisnya. Setidaknya, Biru tidak ingin menangis di depan Praja.

"Papa minta maaf, Biru. Papa tau Papa salah. Tapi Papa nggak ingin munafik, dalam hati kecil Papa, Papa masih sangat mencintai Mamanya Angkasa. Dan ketika akhirnya Papa bisa bertemu lagi sama dia, Papa nggak mau kehilangan orang yang Papa cinta untuk kedua kalinya. Maafkan Papa, Biru."

Biru hanya bisa tertawa mendengar pengakuan Praja. Hatinya sakit, tapi amarahnya jauh lebih besar.

"Mama tau soal ini?"

"Nggak ada satu pun yang Mama kamu nggak tau, Ru."

Sialan.

Sialan.

Angkasa Tanpa WarnaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant