Sejenak, Angkasa terpaku. Dia mengerti betul maksud kalimat itu. Tapi bukan Angkasa namanya kalau dia menjawab lurus-lurus saja tanpa menambahkan lelucon garingnya.

"Enggak. Gue benci nunggu dan sekarang kesabaran gue lagi diuji sama mas-mas ojolnya. Capek hati, capek kaki gue tuh," jawabnya dengan ekspresi sedih yang dibuat-buat. Namun siapa sangka jawabannya kali ini justru membuat raut muka Alva berubah dalam sekejap.

"Gue serius," sahutnya cepat. Kalimatnya tegas, dan detik itu Angkasa sadar kalau Alva benar-benar sedang tidak ingin mendengar omong kosongnya.

Angkasa berdeham singkat, mencoba mencairkan suasana, sebelum akhirnya dia merangkul Alva dan menepuk dadanya pelan.

"Kalau maksud lo itu yang tadi pagi, tenang aja, gue udah kebal, kok. Buktinya gue masih di sini sekarang. Kalau mental gue lemah, udah kabur dari dulu kali gue," ucapnya dan diakhiri dengan tawa. "Udah sana cabut. Nyokap lo lumutan tuh, lo-nya kelamaan."

Alva hanya bisa menghela napas. Ia tahu betul bagaimana Angkasa. Anak itu punya banyak sekali rahasia yang tidak bisa ia baca. Tawa jenaka anak itu adalah senjata paling ampuh untuk menutup semua. Kalau sudah begitu, Alva tidak bisa melakukan apa-apa. Mendesak pun percuma, dia yakin Angkasa tidak akan terbuka padanya.

Pada akhirnya, yang bisa Alva lakukan hanya mengembangkan senyuman. Berusaha percaya meski ia tahu apa yang Angkasa katakan tidak sepenuhnya sejalan dengan apa yang ia rasakan. Dia mulai mengambil langkah, tepat setelah Angkasa menarik diri dari sisinya dan mendorong pelan punggungnya agar segera menjauh dari sana.

"Yaudah, gue duluan." katanya.

"Iya. Hati-hati di jalan, Alva. Patuhi rambu lalu lintas dan jangan ngebut! Ingat, keselamatan lebih penting daripada kecepatan. Lebih baik terlambat sedikit, daripada sampai rumah tinggal nama doang. Selamat jalan.." ucap Angkasa menirukan gaya Pak Mulyo, guru Agama mereka yang rajin menasihati murid-muridnya agar selalu berhati-hati dalam berkendara.

Katanya, hidup itu sekali begitu pula mati. Kalau mereka mempertaruhkan nyawa di jalanan dan apesnya bertemu malaikat Izrail yang kebetulan sedang menjalankan tugas, maka habislah mereka. Mau nangis sambil guling-guling di aspal sekalipun, nggak akan bisa kembali ke dunia kalau mereka sudah bertemu dengan sang pencabut nyawa.

"Yang nyetir nyokap gue, bangsul! Kenapa lo jadi ceramah ke gue?" sahut Alva.

Angkasa cuma nyengir kuda lalu membungkuk hormat pada Ibu Alva yang tersenyum padanya di seberang jalan sana.

"Ya nanti ceramah gue lo sampein ke nyokap lo lah. Jangan lupa pake logat khas Pak Mulyo biar meyakinkan."

"Bodo amat, Sa. Gue cabut."

Tawa Angkasa mengiringi langkah Alva menjauh dari sana. Dia melambaikan tangannya ke udara ketika sekali lagi Ibu Alva tersenyum padanya dari balik kaca, sebelum akhirnya mobil itu melaju dan menghilang dari pandangan Angkasa.

Bersamaan dengan itu, ojek yang daritadi dia tunggu akhirnya tiba. Angkasa sudah siap naik, saat tiba-tiba ponsel di saku jaketnya bergetar. Sejenak, punggung Angkasa menegang. Membaca nama di sana berhasil membuat ketenangannya buyar.

"Bentar ya, Mas," ucapnya yang hanya dibalas anggukan.

Ada jeda beberapa detik yang Angkasa habiskan hanya untuk diam dan mengumpulkan keberanian, sebelum akhirnya dia putuskan untuk menggeser tanda warna hijau di layar. Ketakutannya muncul perlahan, tapi percuma, ia tidak bisa menghindar. Tidak ada pilihan lain selain menjawab panggilan itu sekarang.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Angkasa membawa ponselnya ke telinga. Satu helaan napasnya terbuang perlahan, bersamaan dengan mengalunnya suara familiar dari seberang.

Angkasa Tanpa WarnaWhere stories live. Discover now