📒 28 ✏ (bukan) Rindu Terlarang ✏

14.7K 1.2K 432
                                    

Cukup hari ini saja, biarkanlah rindu ini bercerita kepadaku tentang suaramu yang waktu itu berbicara padaku, tentang aku yang menjadi kaku saat berada dihadapanmu, tentang kita yang tak lagi sama seperti dulu__________________________________

🍄🍄

ADAKAH kata penyesalan yang datang di awal sebuah cerita?

Mungkin jika itu ada, Nabi Adam selamanya tidak akan menyentuh yang namanya buah khuldi hingga menyebabkannya diturunkan oleh Allah dari surga ke dunia. Bahkan harus dipisahkan dengan Siti Hawa hingga ratusan tahun sebelum akhirnya mereka dipertemukan kembali di jabal rahmah.

Ya itulah dunia dan kenyataan yang seringkali terlupakan oleh umat manusia. Bahwa berbuat baik kepada sesamanya adalah suatu kewajiban setiap insan.

"Fatia, kami benar-benar meminta maaf. Sebenarnya waktu itu aku dan Widya__"

"Sudahlah Pus, aku sudah memaafkannya." jawab Fatia saat mereka bertemu kembali di kampus.

Semenjak musibah yang menimpa Fatia yang disebabkan oleh kedua sahabatnya itu. Hubungan ketiganya memang sedikit merenggang. Fatia memang jelas memberikan batasan sesuai yang diperintahkan Hafizh kepadanya.

Ya, biar bagaimanapun Hafizh tetaplah sang suami yang wajib dihormati dan dituruti perintahnya. Berteman saja sudah cukup, tidak perlu melebihkan lagi dengan ikut kegiatan mereka di luar jadwal kuliah dan kegiatan kampus lainnya.

"Kita makan yuk Fat kamu tentuin deh dimana tempatnya. Ini sebagai permintaan maaf dari kami." kata Widya.

"Terimakasih, tapi sepertinya mulai sekarang aku nggak bisa ikut kalian keluar kecuali acara kampus dan kuliah. Maaf ya, aku harus pulang setelah kuliah selesai."

Dingin, itu kata yang kini dirasakan oleh kedua sahabat Fatia. Tapi mereka bisa apa setelah kesalahan fatal yang mereka buat hingga membuat Fatia malu.

"Baiklah kalau begitu. Fatia, apapun yang kamu perlukan kami berdua siap membantu untuk menyukseskan acara pernikahanmu dengan Pak Aftab." kata Widya lagi namun hanya dibalas senyuman oleh Fatia kemudian ketiganya masuk ke kelas karena dosen pengajar telah berjalan menuju ke kelas mereka.

Pernikahan yang tidak akan pernah terlaksana sampai kapanpun juga. Karena garis iradhah menunjuk Hafizh sebagai imamnya bukan lagi seorang Aftab. Tapi jelas kedua sahabatnya itu belum mengetahui kenyataan itu karena memang Fatia memilih untuk menutup rapat semuanya.

Dhuhur kali ini, Hafizh memilih untuk mengikuti sholat jama'ah di kampus Fatia sekaligus untuk menjemput istrinya yang baru selesai jam kuliahnya selepas dhuhur ini. Hafizh melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Masih ada waktu 30 menit untuk mengikuti kajian yang diadakan oleh takmir masjid ba'da dhuhur.

Beberapa jama'ah tetap tinggal untuk bersiap mendengarkan nasihat. Memberikan nutrisi untuk jiwa yang rindu akan pelukan angin surga. Hafizh tetap duduk terpekur dalam diamnya menanti sang ustad berdiri di atas mimbar.

Beberapa menit kemudian nasihat telah mengalir. Rasanya memang seperti menampar muka Hafizh. Tema yang diangkat begitu kongruen dengan masalah yang kini membebat hatinya.

"Suami itu adalah imam, nahkoda dalam sebuah kapal yang bernama keluarga. Jika tidak kuat pasang badan untuk melindungi keluarga maka bersiaplah kapal itu akan karam pelan-pelan." suara ustad itu begitu membahana di masjid yang hanya ada kaum adam di hadapannya.

"Sekali lagi, apa yang suami harapkan dari istrinya? Jika dia sudah menuruti apa yang kita perintahkan, dan melakukan semua kewajibannya dengan sangat baik. Maka dari itu sebagai suami, fardu 'ain hukumnya bagi kita untuk memberikan hak istri. Janganlah hanya kita yang menuntut tapi kita sendiri melupakannya."

KAULAH KAMUKU [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang