Cowok itu berdecih. Sekarang ia tahu darimana Angkasa mendapatkan muka setebal sepuluh lapis baja setiap berhadapan dengannya, karena ternyata semua itu menurun dari ibunya. Anak dan ibu sama saja. Sama-sama sudah putus urat malunya.

Seharusnya Ranin sadar bahwa semua yang dia lakukan ini sia-sia. Wanita itu harus tahu bahwa sampai kapanpun Biru tidak akan pernah menerima hadirnya. Ranin akan tetap menjadi Ranin yang Biru benci melebihi siapapun di dunia. Cih! Jangan mimpi dia bisa menggantikan posisi Yasinta!

Wanita itu sudah maju satu langkah, namun suara Biru segera menghentikannya.

"Siapa yang ngizinin Anda masuk kamar saya?"

"Sebentar aja, Ru. Mama cuma mau taruh ini."

"Nggak butuh. Keluar dari sini!"

"Biru-"

"Keluar!"

Ada hening yang menjelma menjadi jeda setelah Biru melontarkan bentakannya. Tidak ada yang cowok itu lakukan selain diam dengan hati yang berdesir pelan. Campuran dari amarah dan kecewa yang tidak bisa Biru ungkapkan. Sampai akhirnya hening itu pecah saat Ranin kembali maju dan meletakkan gelas minumannya ke meja di sisi ranjang cowok itu.

"Angkasa bilang kamu suka cokelat hangat. Diminum, ya. Nanti Mama kesini lagi buat ambil gelasnya."

Benar-benar keras kepala dan tidak tahu malu, pikir Biru.

Tapi cowok itu memilih diam dan membiarkan kalimatnya tetap tersimpan. Dia segera berpaling setelah mendecih pelan, bersamaan dengan menjauhnya langkah Ranin dari sana sebelum akhirnya hilang dan menyisakan Biru sendirian.

"Angkasa bilang kamu suka coklat hangat."

Kalimat itu kembali bergema di tengah sepi yang memeluknya, membuat Biru mendecih entah untuk yang ke berapa.

"Sok tau!" gumamnya.

Kemudian, dia mengangkat sebelah lengannya untuk menutupi mata. Memilih untuk terlelap sebelum riuh dunia kembali memanggilnya.

☁️☁️☁️

Dulu, Biru pernah bilang kalau rumahnya adalah tempat paling nyaman untuk bersandar. Atap paling teduh untuknya berlindung dari dingin angin malam. Namun, sekarang, rumah itu tak lebih dari sekadar bangunan hampa yang telah kehilangan kehangatan. Bahkan ketika Biru berada di dalamnya, ia tak lagi merasa itu adalah rumah yang dulu pernah ia jadikan tujuan untuk pulang.

Ruang itu tenang tanpa bincang yang diam-diam Biru rindukan. Suara televisi yang menyala pun tidak mampu mengisi sepi yang membentang. Satu kesialan besar karena Biru harus terjebak di sana tanpa melakukan apa-apa. Tadi, selesai makan malam, Praja menahannya untuk tetap tinggal. Katanya ada yang mau dibicarakan, tapi sampai sekarang lelaki itu juga masih diam. Alasannya, karena Angkasa belum pulang. Dan Praja sudah bertekad tidak akan memulai pembicaraan sebelum anak sialan itu datang.

Rasanya Biru ingin lari, tapi Praja dengan segala omong kosongnya selalu berhasil menggagalkan niatnya untuk melarikan diri. Kini, yang bisa Biru lakukan hanya duduk diam seperti orang kurang kerjaan. Mata dinginnya tertuju pada layar televisi yang menyala, tapi tidak ada satupun yang ia perhatikan dari sana.

Ini semua gara-gara Angkasa. Kalau anak itu cepat pulang, seharusnya Biru juga bisa segera lepas dari Praja dan wanita murahan itu. Lagipula kemana, sih, dia? Biasanya anak itu sudah ada di rumah sebelum senja tiba. Kenapa hari ini dia harus pergi sampai malam dan membuat Biru repot-repot menunggunya?

Atau ... sebenarnya Angkasa memang sering pulang malam? Toh, selama ini Biru tidak pernah memerhatikan apapun yang anak itu lakukan. Ada atau tidak ada Angkasa di rumah rasanya sama saja bagi Biru. Dia tidak pernah peduli apapun tentang anak itu.

Angkasa Tanpa WarnaWhere stories live. Discover now