PROLOG

36.4K 3.7K 460
                                    

Sebuah pemukiman di Rheingau, Jerman, tahun 1998

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

Sebuah pemukiman di Rheingau, Jerman, tahun 1998

Sepekan ini, musim dingin seolah menjadi lemari pendingin raksasa. Yang mampu membekukan darah, mengawetkan daging-daging, menyembunyikan bau, dan tidak menampakkan jejak apa pun.

Salju menjadi bahan pengawet alami untuk bangkai yang terbengkalai.

Polisi dan detektif seolah menggantikan peran lalat hijau. Mereka berkumpul, membuat dokumentasi, menyelidiki dan merundingkan kemungkinan-kemungkinan besar. Gundukan salju setinggi betis orang dewasa telah membuat jasad itu benar-benar terawetkan.

Letaknya di ujung halaman rumah. Dekat dengan tumbuhan semak yang sudah dua minggu tidak dipangkas, jasad yang masih utuh itu tertelungkup kaku. Hanya separuh bagian kepalanya saja yang terlihat. Secara kebetulan diketahui karena seorang pemungut sampah rumahan tak sengaja menginjaknya dan tersandung. Terkejut setengah mati saat daun telinga jasad tersebut menyembul keluar.

Sialnya, jasad itu tertimbun salju di depan rumah keluarga Pӧlzl. Kalau bukan karena salju yang menutupi pelataran halaman rumah, jejak pembunuh pasti akan sangat mudah ditemukan. Bahkan, korban seperti dibiarkan tergeletak begitu saja. Seolah pembunuh itu tahu, bahwa badai salju akan datang dan secara sukarela mengubur jasad yang sudah mati dua belas jam lalu.

Polisi menyelidiki, sebab pecahan botol bir itu menancap terlalu sempurna di dalam mulut korban yang menganga. Tembus sedikit meleset dari tulang belakang.

Situasi sekitaran rumah keluarga Pӧlzl dalam sekejap berubah menjadi arena tontonan warga yang berkumpul untuk melihat rupa jasad tersebut. Wartawan Koran kota berebutan mengambil gambar. Garis polisi mengelilingi tempat kejadian perkara, membentang dalam pola jajar genjang, sebagai pertanda bahwa tak ada satu orang pun yang boleh mendekat kecuali pihak berwenang.

Ferdinand Pӧlzl berdiri tak jauh dari garis polisi. Ia sibuk menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan pihak penyidik untuk dimintai keterangan. Sama halnya dengan Celine―sang istri―yang mendapatkan cecaran pertanyaan pada sudut berbeda.

"Aku mengenalnya, korban adalah seorang bartender di pub yang sering kudatangi setiap malam Selasa. Kalau tidak salah namanya Paulus, bukan?" terka Ferdinand di depan polisi bernama Steve yang menunduk―sibuk membuat catatan di atas notes kecil dengan telapak tangan kiri sebagai alas. Embun mengepul deras dari mulutnya ketika bicara. "Tapi ini hari kamis, dan aku sama sekali tidak berjumpa dengannya tadi malam. Sayang sekali, padahal dia itu orang yang sangat ramah."

Steve mengangkat wajah, gerakan tulisan tangannya terhenti. Kedua bola matanya menatap Ferdinand seolah mencari celah untuk menemukan kejanggalan.

"Kenapa Anda ke pub hanya di malam Selasa?" tanyanya.

Ferdinand mengangkat bahu, sekaligus membuat lengkungan menurun pada bibirnya. "Ya, karena hanya di malam itu aku punya banyak waktu. Anda tidak akan pernah tahu bagaimana menjadi seorang ayah yang sibuk bekerja di siang hari dan menjadi pengasuh anak-anak di malam hari. Istriku hanya punya waktu libur di hari Senin. Jadi, hanya di malam itu aku punya waktu berkumpul dengan teman-teman."

"Apa pekerjaan istri Anda?" tanya polisi itu kembali dengan menumpukan kepala pena di sudut bibirnya.

"Caddy Girl," jawab Ferdinand. Ia melenggut. "Ya, dia senior," imbuhnya lagi, siapa tahu polisi itu belum percaya karena usia Celine sangat tidak cocok lagi untuk menyandang profesi tersebut.

Si polisi kembali membuat coretan kalimat di atas buku catatannya. "Pertanyaan terakhir, sekadar ingin tahu, Tuan Pölzl. Apa kedua putrimu itu memang selalu bersikap seperti itu? Sebab aku melihat, mereka tidak punya rasa panik sedikit pun bahkan di situasi mengerikan seperti ini." Steve menunjuk keberadaan kedua remaja perempuan yang sedang duduk di undakan tangga beranda depan menggunakan dagunya. Hal yang dirasa Steve aneh tentu patut dipertanyakan.

Jika kebanyakan anak perempuan akan bertingkah ketakutan, atau setidaknya bersembunyi di balik punggung orang dewasa ketika mengetahui ada mayat tergeletak di dekat rumahnya, tapi tidak dengan kedua anak tersebut. Mereka terlalu bahagia dengan permainan karet gelang yang mereka mainkan. Membuat berbagai bentuk yang diciptakan jari-jari lentik mereka. Suara tawa mereka bahkan terdengar renyah di telinga Steve.

Ferdinand memasukkan kedua tangannya di saku jaket, mencoba untuk membuatnya hangat. Wajahnya ikut menoleh ke arah di mana kedua putrinya duduk bersenda gurau.

"Anak remaja, kita tidak pernah tahu bagaimana cara mereka menciptakan dunia mereka sendiri, bukan?" Kemudian tawa keterpaksaanya tanpa sengaja tersebar. "Yang lebih tinggi itu namanya Monica, usianya tujuh belas tahun. dan yang kecil, yang sedang memainkan karet gelang, namanya Felicia, usianya baru lima belas tahun tiga hari yang lalu."

Pena Steve kembali bergerak di atas buku catatan. Sementara Ferdinand, melambaikan tangannya pada kedua remaja putri yang secara kebetulan menoleh ke arahnya dan tersenyum leluasa. Namun hanya di detik itu saja, sebab di detik berikutnya―saat tangan salah satu remaja putri itu turun―senyumnya seketika berubah menjadi rupa kemurungan.

Monica Pӧlzl meremas kedua tangannya kuat, berusaha untuk merenyahkan atmosfer dingin yang hampir membeku.


_______________________________________

Welcome to my new story. Ini bener2 cerita misteri / thriller, mudah-mudahan kalian suka dan terus penasaran dengan kelanjutan cerita ini.

Masukkan ke reading list-mu, agar tidak ketinggalan notifikasi.

______________________________________

Copyright © 31 Oktober 2019.

Pӧlzl  [Sudah Terbit]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant