"Terima kasih untuk apa?" tanyaku.
Apakah ini kata-kata perpisahan?
"Karena ada di sana, waktu aku sangat membutuhkanmu."
Satu-satunya ingatan yang menerobos masuk di pikiranku ketika hatiku terbebani oleh sesuatu yang tidak kuketahui adalah ketika aku menghentikannya melakukan hal bodoh yang mungkin akan disesalinya seumur hidup, Sepertinya hanya waktu itu aku benar-benar berguna dan bermanfaat dalam kehidupannya.
"Aku ... hanya kebetulan ada di sana. Bukan apa-apa."
Arlan Pratama memutuskan untuk duduk, lalu menepuk sebelah bangkunya, memintaku untuk duduk di sebelahnya. "Sini."
Kuputuskan untuk duduk sembari memperhatikan pancaran bahagia wajahnya yang sudah kulihat sejak beberapa minggu lalu--atau lebih tepatnya sejak Kak Aetherd terbangun. Memang ini yang kuinginkan, tidak ada apapun lagi.
"Kamu sendiri yang bilang kalau pertemuan kita bukan kebetulan," ucap Arlan Pratama, masih tersenyum. "Kamu kenapa, sih?"
Kugelengkan kepalaku yang terasa berat, "Entahlah ...."
"Ini pertama kalinya aku tidak mengerti apa yang kamu omongin, lho." Arlan Pratama mengerutkan keningnya heran, meski begitu dia tetap tersenyum. "Ayo, tidak apa-apa, cerita saja denganku."
Kugelengkan kepalaku dengan enggan, "Sudahlah."
"Kalau begitu, aku akan menggunakan permintaan pemenangku. Ayo, cerita saja," bujuknya.
"Kamu curang," gumamku.
"Kalau tidak curang, kamu tidak mau cerita. Padahal sebentar lagi aku sudah mau pulang."
JLEB, sekali lagi. Tusukan ke jantung yang lebih dalam daripada sebelumnya. Makin menyakitkan, apalagi karena Arlan Pratama mengatakannya secara langsung tanpa beban pula.
"Kamu ... kembali ke rumah?" tanyaku.
"Iya, tentu saja. Kupikir kamu sudah tahu tentang itu."
Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat, tetapi kusembunyikan tangan kiriku ke belakang punggung, hanya agar Arlan Pratama tidak melihatnya. Dan agar aku tidak melihat benang merahku sendiri di sana.
"Kita tetap satu sekolah, kan?" tanyaku lagi.
"Tentu saja! Kalau aku pindah, aku akan memberitahumu, rival. Tenang saja, aku tidak kemana-mana."
Sisi pikiranku yang egois tidak menerima perkataannya yang satu itu. Namun naluriku yang waras berusaha berjalan. Dia tidak pernah pergi, dia hanya kembali.
"Sudah. Hanya itu yang kupikirkan," balasku pada akhirnya.
Senyuman Arlan Pratama kembali berseri, "Kamu tidak mau kita berpisah? Atau bagaimana?"
Kutatap Arlan Pratama dengan tatapan datar, sebelum menjawab dengan suara kecil, "Atau bagaimana."
"Oh? Ada hal lain yang mengganggumu? Ayo, ceritakan lagi," bujuknya lagi.
Dia kelihatan semangat sekali membongkar keganjalan yang ada di hatiku. Seharusnya Arlan Pratama tidak perlu tahu lebih dari itu, tetapi lagi-lagi dia membujukku dengan paksa.
"Ayolah, Len, aku pakai lagi deh permintaanku."
Tanya ... atau tidak?
Kulepaskan pelan-pelan tanganku yang mengepal erat, lalu menarik napas dan melepaskannya pelan-pelan.
Ayo, tanyakan, Alenna.
"Apakah kamu tahu cerita benang merah?"
***TBC***
10 November 2019, Minggu.
Cindyana's Note
Hampir menjadikan chapter ini sebagai chapter terakhir, karena sudah tidak ada konflik yang harus dibahas. Namun karena aku baik hati dan tidak sombong, akhirnya kuputuskan untuk menambah satu chapter lagi sebagai ujung benang merah sebelum epilog.
Bahkan saat mengetik ini pun, aku masih belum percaya bahwa Red String akhirnya akan segera tamat.
KENAPA SIH, CIN? Kamu kan sudah sering namatin cerita. Ini cuma Red String lho! Harus ikhlas!
Ya, sepertinya belum ikhlas karena masih sangat sayang dengan dua karakter ini. Biarlah di next chapter aku akan membuat dialog dan interaksi mereka berdua sepuas-puasnya!
Mungkin ini akan terdengar sangat menggelikan, tapi ekarang, ketika mengetik ini, jantungku berasa kayak 'ketekan'. Aneh banget memang. Saat menamatkan cerita lain, aku sangat lega dan puas karena sudah terbebas dari mereka.
Meanwhile, Red String dengan chapter sebanyak 35 chapter tidak sanggup membuatku lega. Aku terlalu cinta sama Arlan-Alenna.
Sangat menyenangkan menulis Red String, karena selama setahun mengetik Red String, aku paling tertekan menulis chapter ini. Ini adalah chapter sebelum perpisahan.
Di next chapter, selain harus puas-puasin diri mengabadikan momen Arlan-Alenna, aku harus bisa memberi celah bagi Alenna untuk menjelaskan tentang Five Rain Women. Clue buat kalian di cerita Riryn nanti.
Oh ya, sejauh ini, aku belum pernah menanyakan pendapat kalian tentang Red String, yak. Lupa terus saking serunya membuat cerita mereka.
Jadi? Bagaimana menurut kalian?
Apakah aku berhasil mengeksekusi premis mainstream ini dengan baik?
Apakah kalian suka dengan ceritanya?
Huhuhu author notenya panjang banget. Memang kelihatan kalau aku masih belum rela mempublikasikan ini, tapi jika aku gantung terus di draftku, maka aku egois tidak membiarkan cerita ini selesai. Dan tidak membiarkan kalian membacanya.
Semoga kalian suka dengan cerita Red String.
See you on the last chapter!
Cindyana H / Prythalize
YOU ARE READING
LFS 2 - Red String [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 2] Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti. Mendapat peringkat per...
The Thirty Fourth Thread - "Future is Something Aimless"
Start from the beginning
![LFS 2 - Red String [END]](https://img.wattpad.com/cover/167548547-64-k308475.jpg)