Sweet words are something unreliable, so break me with those painful truth, please.
***
"Ada yang duduk di sini?"
Aku tersentak ketika mendengar suara itu. Niatku untuk membalas pesan dari Mama bahwa aku sedang dalam perjalanan pulang pun terjeda untuk beberapa saat. Kuangkat kepalaku dan menoleh ke pemilik suara yang bertanya tadi. Arlan Pratama yang bertanya.
"Enggak ada," balasku pelan.
"Kalau begitu, aku duduk di sini, ya." Arlan Pratama langsung duduk tanpa persetujuanku.
Aku tidak sempat memeriksa ke belakang untuk memastikan bahwa memang sudah tidak ada tempat duduk yang tersedia untuk si nomor satu ini, karena Arlan Pratama lebih dulu mengatakan alasan mengapa dia memilih duduk di depan hari ini.
"Aku lagi malas ngomong sama orang," ucapnya yang membuatku tersinggung.
"Aku juga orang, lho," balasku kesal.
"Tapi kamu nggak ribut. Memangnya apa rencanamu selama perjalanan pulang?" tanya Arlan Pratama.
Kuangkat buku yang ada di pangkuanku, "Mau lanjut baca buku."
"Nggak mabuk kendaraan kalau sambil baca?" tanyanya.
"Sudah biasa dari dulu," balasku pendek.
"Itu tentang apa?" tanyanya lagi.
Kukerutkan keningku, "Kupikir kamu lagi malas ngomong?"
Itu buku tentang pengembangan diri dan seharusnya Arlan Pratama sudah tahu begitu membaca judul buku itu. Entahlah dia sengaja melakukannya atau tidak.
"Memang lagi malas," balasnya lesu. "Tapi, kalau aku bosan, gimana?"
Bus baru bergerak kurang lebih lima menit, Arlan Pratama baru duduk di sampingku selama semenit dan dia sudah nyaris mati bosan.
"Maaf, ya, aku tahu aku membosankan," ucapku sambil membuka tasku, lalu kukeluarkan sebuah buku untuknya, "Ini, kalau mau, baca saja."
"Non-fiksi lagi? Hidupmu memang datar sekali, ya." Walaupun mengatakan begitu, dia tetap menerima buku itu. "Ngomong-ngomong, kamu tidak semembosankan itu, kok. Kita ngomongnya kan masih nyambung."
"Kalau tentang pelajaran," tambahku sambil memasukkan ponselku ke dalam tas dan melanjutkan bacaanku lagi.
Selanjutnya, Arlan Pratama ikut membuka buku dan membacanya. Aku masih terbawa dalam kata-kata yang ada di dalam buku, sebelum akhirnya Bu Farah lewat entah karena ada kegaduhan apa di belakang sana.
"Wah, Alenna dan Arlan, kalian memang kutu buku, ya," ucapnya sambil tersenyum.
Kami berdua sama-sama mengangkat kepala dan bersitatap dengan Bu Farah.
"Oh, Hai, Bu," sapa Arlan Pratama tanpa merasa canggung.
Aku hanya menunduk sedikit untuk menunjukkan rasa hormatku, karena sejujurnya aku masih merasa sangat canggung karena pertanyaan yang diberikan Bu Farah kemarin malam dan jawaban dari anak ini, tentu saja.
"Kalian berdua kompak, ya. Tahun ajaran baru nanti, Ibu kirim kalian ikut olimpiade bareng aja kali ya," ucap Bu Farah dengan nada bercanda.
Arlan Pratama tersenyum sekilas, sebelum akhirnya senyumannya memudar begitu saja. "Mungkin hanya Alenna. Saya sepertinya tidak bisa meluangkan waktu lagi untuk ikut kelas tambahan dan kelas khusus."
YOU ARE READING
LFS 2 - Red String [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 2] Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti. Mendapat peringkat per...
![LFS 2 - Red String [END]](https://img.wattpad.com/cover/167548547-64-k308475.jpg)