First chance is something sudden, but second chance is destiny.
***
"Alenna, Arlan nyariin kamu."
Suara itu membuat tanganku yang sedang menulis, langsung terhenti seketika. Jelas saja aku tidak mengenali suara siapa pun yang baru saja mengatakan itu, tetapi hal itu berhasil menarik perhatianku untuk berhenti fokus pada tulisan yang sebenarnya masih terbayang-bayang di kepalaku.
Kualihkan pandanganku menatap ke arah pintu. Ada Arlan Pratama di sana, menatapku dengan senyuman cerah yang memang biasa dipamerkannya. Aku segera bangkit dari dudukku, pura-pura mengabaikan pertanyaan dari teman-teman sekelas yang bertanya kepada Arlan Pratama tentang alasannya mencariku.
Akhirnya, aku berdiri tepat di depannya, "Kenapa?" tanyaku sambil mengedipkan mataku bingung. "Kamu mau pinjam kamus?"
"Kalkulator," balasnya.
"Memangnya Bu Farah bolehin pakai kalkulator?" tanyaku.
"Enggak, sih. Tapi kamu bawa, kan?"
Aku memang membawanya untuk keperluan review soal setiap istirahat. Seperti yang pernah kukatakan dulu, aku agak payah dalam matematika. Hitunganku kurang cepat. Yang membuat nilai matematikaku nyaris tidak pernah dibawah nilai 90 adalah karena ketepatan, bukan kecepatan. Mungkin itu alasannya mengapa Arlan Pratama yang selalu dipilih untuk ikut lomba di pelajaran matematika.
Tapi, buat apa orang seperti Arlan Pratama meminjam kalkulator? Bukannya dia itu si Jenius yang selalu mengumpulkan paling pertama dan mendapat nilai paling tinggi? Fakta yang kudengar dari Rania itu membuatku merasa agak kalah, mengingat aku selalu menjadi pengumpul terakhir dalam pelajaran matematika.
"Kenapa ngelihatin kayak gitu? Kamu tidak bawa?" tanyanya.
Aku bisa mendengar suara di belakangku. Banyak yang membuka ritsetling tas mereka dengan buru-buru. Di sana, aku baru mengetahui bahwa rupanya ada banyak teman sekelasku yang membawa kalkulator, meskipun sebenarnya kami tidak diperbolehkan untuk membawanya.
Dan aku juga baru menyadari bahwa keadaan di kelas langsung hening sejak ada yang mengumumkan keberadaan Arlan Pratama di kelas. Mungkin karena itulah mereka bisa mendengarkan obrolan kami, padahal suara kami tidak sekeras itu.
Saat ini sedang jam istirahat pagi. Banyak yang sedang ke kantin. Rania dan kawan-kawannya juga ke sana, walaupun aku sudah mendengarnya mengeluh tentang makanan kantin yang membosankan, lebih dari tiga kali.
"Ada, sebentar."
Aku berbalik untuk mendatangi mejaku, lalu kulihat tatapan semua orang tertuju kepadaku. Kebanyakan dari mereka menatapku seolah aku adalah orang paling aneh yang pernah ada. Kuputuskan untuk mengabaikan hal itu dan segera menyerahkan kalkulator itu kepada Arlan Pratama.
Begitu aku menyerahkan kalkulator itu kepadanya, dia langsung menekan angka dengan cepat, lalu menyerahkannya kembali.
"Terima kasih," katanya.
Aku menatapnya bingung, "Sudah selesai?"
"Sudah."
Aku menerima kalkulator itu dengan perasaan bingung. Saat kuperhatikan lagi, layar kalkulator itu belum dimatikan. Ada angka rumit yang diawali dengan angka 0,8. Sisanya adalah angka yang memenuhi nyaris semua layar kalkulator.
Habis menghitung apa, anak ini?
Baru saja aku berpikir sebentar, Arlan Pratama melanjutkan.
"Nanti dicatat ya, angkanya." Begitu katanya.
YOU ARE READING
LFS 2 - Red String [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 2] Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti. Mendapat peringkat per...
![LFS 2 - Red String [END]](https://img.wattpad.com/cover/167548547-64-k308475.jpg)