The Twenty Sixth Thread - "Trust is Something We Called Chance"

19.5K 3.7K 769
                                        

Trust is something we called chance. Tell the truth and they will have a faith in you; or tell one lie and they won't believe you anymore.

***

Jadwal malam mingguku dengan Papa sepertinya akan berakhir sebentar lagi. Papa membawaku ke tempat makan favoritku dan Mama, lalu mendapat panggilan untuk kembali ke rumah sakit ketika kami tengah menyantap makanan penutup.

Papa benar-benar menyesali momen itu, karena sebenarnya kami sudah berjanji akan pergi ke bioskop atau ke pusat pembelanjaan untuk membeli buku dan sepatu baru. Papa berjanji akan mengajakku bermalam minggu lagi lain kali (kurasa dengan Mama juga).

Karena Papa sudah berjanji kepada Mama akan membawaku pulang, Papa memintaku untuk menunggu sebentar di kursi yang ada di lorong. Sebenarnya agak mengerikan, mengingat hari sudah malam dan lorong itu berada di outdoor yang bagian atasnya telah dilapisi platform dan tenda. Ya, tapi, tetap saja itu di luar.

Untungnya, keadaan jadi tidak begitu terasa sepi, saat aku membuka ponsel. Itu karena aku masuk dalam grup Five Rain Women. Saat ini hanya ada empat anggota; Metta, Riryn, Tyara, dan aku. Clay masih belum masuk ke dalam grup, tidak ada yang memiliki kontaknya.

Aku jadi ingat, Riryn menyambutku dengan kumpulan karpet welcome warna-warni--hal yang juga terjadi ketika aku masuk grup kelas--sepertinya itu adalah tren.

Aku mungkin harus memantapkan diri untuk mengumpulkan gambar keset kaki lebih banyak untuk menyambut anggota baru.

Ngomong-ngomong, hal yang dibahas di grup itu cukup acak dan tidak terkontrol. Karena membaca saja sangat tidak baik, maka aku meninggalkan stiker Brown menangkap kupu-kupu sebagai penanda bahwa aku membaca pesan mereka.

Rania yang mengenalkanku nama beruang coklat itu. Kata Rania, Brown yang menangkap kupu-kupu sangat cocok denganku. Arlan Pratama juga mengatakan hal yang sama saat aku mengirim stiker itu kepadanya.

Sedang membaca pesan yang dikirim Riryn dan Metta--karena hanya mereka berdua yang mengobrol via chat--tiba-tiba saja lampu di atasku padam. Tubuhku sempat menegang ngeri, sebelum akhirnya aku menyadari bahwa masih ada beberapa lampu yang belum dimatikan. Setidaknya, aku tidak sendirian dalam kegelapan.

Aku melirik pintu kerja Papa. Belum ada tanda-tanda Papa akan keluar dari sana. Mungkin lampu padam itu pertanda bahwa aku harus melakukan hal lain selain duduk.

Berdirilah aku dari dudukku, lalu mulai berjalan-jalan mengelilingi lorong rumah sakit. Tempat ini cukup familier untukku, karena dulu Papa memang sering membuatku menunggu setelah pulang sekolah. Lama kelamaan, aku merasa bosan dan akhirnya meminta Mama mengajari cara naik bus, hanya agar aku tidak perlu menunggu di rumah sakit terlalu lama.

Bagiku, berada di rumah sakit, menyaksikan orang-orang yang lalu lalang tanpa ekspresi  ... sepertinya memang bukanlah pemandangan yang menyenangkan. Keadaan di sana terlalu hening untuk orang-orang seramai itu. Terkadang, aku lebih menyukai kelasku yang ribut karena tidak ada guru yang masuk, daripada menunggu bersama keheningan terlalu lama.

Saat sedang melangkahkan kakiku untuk berbelok, tiba-tiba saja aku menemukan sesuatu yang menarik perhatianku.

Ralat, sesuatu yang berhasil memancingku untuk memperhatikannya.

Di ujung lorong, ada seseorang yang duduk di kursi lorong. Sebenarnya bukanlah hal yang dapat memancing perhatianku, jika seandainya dia tidak duduk di bawah lampu yang dimatikan. Kulihat, dia sedang duduk diam merenungi sesuatu.

Wajahnya tidak terlalu jelas di pandanganku. Namun melihatnya mulai menulis di atas buku yang ada di pangkuannya dengan agak membungkuk, aku mulai mengobservasi apapun yang ada di sekitarnya.

LFS 2 - Red String [END]Where stories live. Discover now