Loneliness is something that can't be heal, if you are alone. So I will be with you.
***
Hari itu, aku demam. Arlan Pratama juga demam. Kami sakit bersama.
Aku heran juga, mengapa hal itu bisa terjadi. Kami hanya tersiram hujan selama beberapa saat. Mama tidak mengatakan apa-apa saat mengetahui itu. Malahan, Mama yang mengabarkan bahwa Arlan Pratama juga sakit--orangtuanya yang memberi informasi.
Mama juga tidak bertanya tentang apa yang kami lakukan sampai bisa jatuh sakit dalam waktu yang bersamaan. Kupikir, sedikit banyak Mama akan berpikir bahwa kami berdua mengobrol terlalu lama saat di balkon. Padahal, kami tidak berbicara di balkon sesering itu.
Setelah kejadian itu pun, aku masih menganggap Arlan Pratama sebagai rival utamaku dalam meraih ranking. Tidak tahu, bagaimana dia menganggapku, aku juga tidak terlalu tertarik untuk mencari tahu. Kami sama-sama berpura-pura tidak ingat bahwa insiden hujan-hujanan itu pernah terjadi. Tidak ada dari kami yang membahasnya selama dua minggu itu, saat kami makan malam bersama.
Namun, keanehan kembali timbul saat hari pertama kami memasuki kelas delapan.
Hanya ada nama Arlan Pratama yang tercantum di papan tulis absensi seangkatan. Hanya dia seorang yang tidak datang hari ini. Padahal, di malam sebelumnya, kami masih makan malam bersama dan Mama mengajak kami memperbincangkan tentang hari pertama di kelas delapan.
Sebenarnya hal ini tidak akan disadari oleh seisi sekolah, jika seandainya tidak ada pemanggilan juara umum sehabis upacara. Nama Arlan Pratama dipanggil entah berapa kali, tetapi sang pemilik nama tidak kunjung menampakan batang hidungnya.
"Arlan Pratama tidak hadir ya?" Kepala Sekolah bertanya dengan nada canggung, sambil melirik piala paling tinggi yang ada di jajaran piala-piala untuk angkatan kami.
Keributan karena orang-orang mulai mencari-cari keberadaan lelaki itu dan juga menemukan celah untuk mengobrol, membuat Kepala Sekolah akhirnya mengalihkan pembicaraan, memanggil nama kakak kelas yang mendapatkan juara umum. Sedangkan barisan kami yang bersebelahan tepat dengan para adik kelas, hanya diam tanpa mengomentari apapun.
"Arlan itu mikirin apaan sih? Malah enggak masuk di hari pertama. Kemarin pas pergantian semester, dia juga begitu, kan?" komentar seorang laki-laki di serong depanku, barisan kelasku.
Aku tidak ingat namanya, tetapi dia pernah menduduki ranking pertama, saat aku menduduki ranking kedua saat semester ganjil kemarin.
"Kita lihat saja nanti, kali ini dia enggak masuk berapa bulan," timpal lawan bicaranya yang ada tepat di belakangnya.
Kukedipkan mataku beberapa kali, saat orang itu tanpa sengaja menolehkan kepala dan bersitatap denganku. Dia menatapku heran, seolah hendak menanyakan sesuatu, tetapi pada akhirnya dia tetap melanjutkan perbincangan dengan orang di belakangnya. Tentu saja setelah mereka mengalihkan topik pembicaraannya.
Tiba-tiba, seseorang mencolek pundakku dari belakang, "Alenna, nanti kita cari tempat duduk yang--hei, mengapa kamu bad mood pagi-pagi begini?"
Aku tidak ingat kalau yang ada di belakangku tadi adalah Rania, tapi begitulah kenyataannya sekarang. Tidak penasaran dengan fakta yang satu itu, aku justru mempertanyakan hal lain yang membuatku lebih penasaran, "Siapa yang bad mood?"
"Yah, kamulah! Keningmu berkerut begitu!" Rania menggosok alis dan keningku dengan jempolnya tanpa izin.
Aku sendiri juga tidak ingat kalau aku telah mengerutkan keningku sedaritadi.
"Nanti kita cari tempat duduk yang berdekatan, ya. Kalau kamu mau duduk di depan, aku di belakangmu, deh," kata Rania sambil memamerkan jempolnya.
YOU ARE READING
LFS 2 - Red String [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 2] Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti. Mendapat peringkat per...
![LFS 2 - Red String [END]](https://img.wattpad.com/cover/167548547-64-k308475.jpg)