The Thirty Fourth Thread - "Future is Something Aimless"

Start from the beginning
                                        

Namun, hal yang kutahu, setelah setengah jam kemudian, Gracia tidak kunjung membawa Tyara. Kak Aetherd bahkan sudah kembali ke kamarnya. Papa juga sudah menyelesaikan pekerjaannya.

Berakhir, hari itu aku tidak menjenguk Tyara. 

*

Beberapa minggu kemudian, Kak Aetherd sudah bisa dipulangkan. Saat hendak berangkat ke rumah sakit, tepat begitu aku membuka pintu, aku menemukan banyak kardus-kardus yang bertumpuk di depan rumahku. Langkahku terhenti, pikiranku seolah berjalan lebih cepat. Banyak dugaan yang bermunculan di kepala, salah satunya; 

"Ah ... hari ini Kak Aetherd pulang ke rumahnya." 

Satu lagi; "Bukankah itu berarti Arlan Pratama juga pulang?"

 Seharusnya aku tidak perlu kaget, karena Arlan Pratama nyaris tidak pernah lagi kembali ke apartemen ini sejak saat Kak Aetherd terbangun. Terakhir Arlan Pratama di sini adalah saat dia mengetuk pintu apartemenku dan mengatakan bahwa dia harus ke rumah sakit. Kejadian itu sudah lama, beberapa minggu yang lalu. Itu artinya, apartemen nomor 1010 itu kosong selama itu. 

Apartemen nomor 1010 telah menyelesaikan tugasnya dengan baik; menjadi tempat tinggal sementara untuk Arlan Pratama yang membutuhkan ketenangan. Tempat kami berbicara pertama kali, tempat kami sering menghabiskan waktu bersama. 

Di rumah sakit, ketika bertemu dengan Arlan Pratama, dia sedang tersenyum sangat bahagia bersama keluarganya. Aku tidak berani mengungkit topik tentang kemungkinan bahwa dia akan pindah dari sana, atau bahkan bertanya apakah dia juga akan menghabiskan masa SMA-nya di tempat yang sama denganku. 

Aku hanya diam membisu, menjadi cermin, mengikutinya tersenyum, tidak berbicara lebih jelas tentang kemungkinan bahwa ada peluang kami tidak akan bertemu kembali. Serba salah, tetapi aku tidak punya nyali untuk membuatnya teralihkan dari rasa bahagianya. 

Kebahagiaan-nya adalah hal yang paling kuinginkan selama hampir tiga tahun mengenalnya. 

Namun pikiran itu terus saja menghantuiku;

Apa kami akan bertemu lagi?

Apakah kami masih berteman? 

Jika Arlan Pratama tidak lagi membutuhkanku sebagai teman untuk semua keluh kesahnya, apakah hubungan pertemanan kami akan berakhir sampai di sini? 

Kukepalkan tanganku kuat-kuat. 

Tetap tersenyum, Alenna. 

Dulunya, aku selalu baik-baik saja walaupun sendirian. Aku sudah terbiasa, dan akan menyulitkanku jika aku lupa bagaimana menghadapinya. 

Arlan Pratama menghampiriku dengan senyuman lebar, "Alenna, ayo ke sana."

Aku mengerjap, lalu membalas pelan, "Iya."

Tidak boleh bertanya, tidak boleh menghancurkan kebahagiaannya. 

"Kak Aetherd mana?" tanyaku. 

"Hmm, katanya mau pamit pulang dengan temannya. Tidak ada yang tahu kalau ternyata dia berteman dengan pasien lain selama di sini," balasnya. 

Padahal, ini kesempatanku untuk bertanya. 

Padahal, aku tahu soal itu. 

"Alenna, terima kasih, ya." 

Seperti ada sesuatu yang menusuk jantungku. Jelas bukan cupid kecil yang memanah, sebab alih-alih merasa senang, aku justru merasa sangat sakit. Menyakitkan. Entah apa yang harus dipermasalahkan. Kak Aetherd bangun, Arlan Pratama bahagia, keluarganya kembali lengkap. Aku kehabisan logika, entah apa yang harus dipermasalahkan lagi. Sebab semuanya telah kembali seperti semula. 

LFS 2 - Red String [END]Where stories live. Discover now