The Thirty Fourth Thread - "Future is Something Aimless"

Start from the beginning
                                        

Mereka membalas senyumku, lalu kembali beralih menatap Gracia, "Kamu tidak sibuk datang pagi-pagi setiap hari?"

"Nggak apa-apa, kan lagi libur," balas Gracia sambil tersenyum lebar. 

Sementara mereka asyik berbicara, aku mendongak memperhatikan balkon atas di seberang taman. Kamar Kak Aetherd sudah dipindahkan ke sana sejak dia terbangun sepuluh hari yang lalu. Keadaannya sudah lebih baik, saat ini sedang masa terapi untuk merangsang otot tubuhnya agar dapat berfungsi kembali dengan baik. 

Tidak ada tanda-tanda pintu di lantai dua itu akan terbuka dalam waktu dekat. Kucoba berpikir-pikir lagi tentang apa yang dikatakan oleh Arlan Pratama tentang kakak laki-lakinya. 

Katanya, kami berbagi hari ulangtahun yang sama. Sebenarnya dia sudah mengatakan ini beberapa waktu yang lalu. Jadi, dia mengatakan ini sebanyak dua kali. Sebenarnya aku tidak ingin mengingatkan kepadanya kalau kami akan berulang tahun dalam beberapa minggu lagi, tapi sepertinya dia akan terus mengingat itu. 

Sebenarnya aku sudah bertemu dengannya beberapa hari yang lalu; saat aku sedang datang ke ruangan Papa. Aku tidak tahu bahwa Kak Aetherd juga ada di dalam sana karena Papa sudah bilang kepadaku untuk langsung masuk saja. 

Itu pertama kalinya aku melihat Kak Aetherd dalam keadaan bangun--karena sebelumnya aku melihatnya tertidur dalam koma--kedua bola matanya biru, lalu kusadari pula wajahnya dan adik laki-lakinya cukup mirip. Hanya ada satu hal yang berbeda, tentu saja Arlan Pratama adalah versi kecilnya dan mungkin Arlan Pratama jauh lebih kekanak-kanakan, karena Kak Aetherd sangat tenang dan berwibawa walaupun kulitnya pucat. 

Ada seseorang yang berdiri di sampingnya. Tadinya kupikir Arlan Pratama, tetapi orang itu terlalu tinggi untuk Arlan Pratama, jadi kurasa bukan. 

"Oh, Alenna sudah datang. Sini, masuk saja," sahut Papa saat menyadari bahwa aku mengintip dari balik tirai putih pembatas. 

Saat itu aku masuk dengan gelisah, lalu menatap ke arah Kak Aetherd dengan ragu. Kami hanya diam dan aku bisa merasakan Kak Aetherd sedang menelitiku dalam-dalam. Kalau saja dia mau tersenyum miring sedikit saja, aku yakin dia akan mirip dengan Arlan Pratama saat anak itu ingin menyombongkan diri. 

"Temannya Aerl, ya?"

Kemunculan benang merahnya memberikan konfirmasi; Kak Aetherd memang sedang berbicara denganku. Satu-satunya keuntungan yang kurasakan karena memiliki kemampuan melihat benang merah adalah aku dapat memastikan bahwa orang itu memang berbicara denganku, bukan dengan sesuatu di belakangku. 

Kuanggukan kepala, "Iya, Kak."

Pembicaraan kami hanya berakhir sampai di sana, karena selanjutnya dia kembali berbicara dengan Papa. Sementara itu, aku menghabiskan waktu untuk duduk sambil memperhatikan jendela. Barangkali ada keajaiban Arlan Pratama lewat dan membantuku lepas dari kecanggungan antara melihat papaku sendiri menjadi dokter dan kakaknya sebagai pasiennya. Aneh, padahal mereka bukan sedang bermain dokter-dokteran. 

"Kalau begitu Paman dan Tante pergi dulu. Kalau Tyara-nya sudah bangun, ajak dia keliling-keliling, ya."

Gracia melemparkan senyum ceria, "Siap!"

Usai keduanya pergi, Gracia langsung kembali duduk dengan berseri-seri. 

Oh, Masih berlanjut, rupanya. 

"Kamu datang ke sekolahku waktu festival kemarin, kan? Aku mau nyapa kamu, tapi kamunya keburu pulang."

Cukup lama bagiku untuk menyadari bahwa Gracia adalah gadis yang kulihat di panggung. Dia bermain drama sebagai Snow White. 

Setelah aku mencoba mengingat-ingat lagi, Gracia yang memainkan piano setiap acara ketika SD dulu. Misalnya ketika hari guru di tahun terakhir SD, dialah yang memainkan musik Hymne Guru dan diikuti oleh semua murid. Selain itu dia aktif di berbagai kegiatan dan organisasi. Dulu dia sering keluar kelas di tengah pelajaran dan selalu membuatku bertanya-tanya, tidakkah dia menyayangkan waktunya yang terbatas di sekolah? 

LFS 2 - Red String [END]Where stories live. Discover now