📒 25 ✏ Hidup Baru ✏

Start from the beginning
                                    

Kini hampir dua jam mereka berada di dalam mobil. Namun Hafizh tetap fokus dengan jalanan yang ada di depannya. Hingga saat Hafizh hendak berbelok ke rumah yang ditinggali Fatia, karena setelah mereka menikah tentunya Hafizh juga akan tinggal di sana. Fatia baru teringat bahwa empat puluh lima menit lagi harus berada di kampus karena ada kuliah yang masih harus dia ikuti setelah lima hari kemarin Fatia bolos kuliah.

"Bang, Fatia harus kuliah 45 menit lagi ada kuliah. Nanti habis sampe rumah langsung berangkat ya. Maaf__" kata Fatia sedikit terbata karena takut suaminya akan marah.

"Ada ada materi kuliah yang perlu diambil di rumah?" tanya Hafizh.

"Nggak perlu, cuma kuliah materi saja kok. Tapi harus masuk karena dosennya____"

"Aftab?"

Bukannya menjawab Fatia justru memperhatikan perubahan muka suaminya. Dia sejatinya ragu untuk mengatakan bahwa dia akan mengikuti mata kuliah yang diampu oleh Aftab. Tapi sedari dia menerima Hafizh sebagai suaminya, Fatia telah berjanji untuk selalu berkata jujur. Supaya suaminya tidak bertambah marah.

Dengan tanpa adanya jawaban Fatia, Hafizh telah mengetahui jawaban tepatnya apa. Dia justru membelokkan mobilnya dan merubah arah untuk langsung mengantarkan Fatia ke kampusnya.

Sedikit merambat namun Fatia telah sampai di kampusnya 10 menit sebelum jam kuliah dimulai.

"Smartphone kamu mana Fatia?" tanya Hafizh yang tiba-tiba saat mobilnya berhenti sempurna di depan fakultas ekonomi.

Sambil menyerahkan gawainya Fatia menanyakan untuk apa suaminya menanyakan tentang gawainya. "Untuk apa Bang?"

"Ada pattern atau angka sandinya?" tanya Hafizh yang menunjukkan layar pipih itu kepada Fatia.

Fatia segera memberitahu kode dan pola yang dipakai sebagai mode kunci untuk mengamankan gawainya. Kemudian Hafizh membuka laci dashboard dan memberikan HP jadul kepada Fatia.

"Aku ganti smartphonemu dengan HP ini selama kamu tidak bersamaku. Itu sudah aku isi nomernya. Tidak perlu memberitahukan nomornya ke orang lain, karena fitur dan aplikasi untuk nomor itu sudah aku blokir langsung dari provider GSMnya, jadi hanya nomorku, Bunda dan juga Daddy yang bisa menghubungi nomor itu. Telepon itu hanya bisa dipakai untuk menelpon dan menerima dari ketiga nomor yang telah aku daftarkan. Jadi kamu bawa ini saja. Akses internet bisa akses di perpustakaan melalui PC kan?" dengan lancar Hafizh mengatakan itu kepada Fatia. Meski dengan sedikit tidak terima di dalam hatinya namun Fatia tersenyum dan menerima 'stupid'phone yang diberikan Hafizh itu.

"Kalau ada temen-teman Fatia yang telepon___"

"Nanti aku yang akan menelponmu jika itu memang penting. Selesai kuliah jam berapa?"

"Fatia kuliah 3 SKS, Bang."

"Dua seperempat jam dari sekarang berarti, nanti aku jemput. Atau kalau aku nggak bisa nanti aku pesankan ojol karena aku juga harus urus seminar thesisku di kampus. Belajar yang benar, jangan bermain-main dengan masa depanmu."

"Iya Bang."

Tidak ada kecupan di kening Fatia meski Fatia telah mencium punggung telapak tangan kanan suaminya. Hafizh benar-benar dingin. Tapi Fatia tahu bahwa dia harus banyak belajar untuk bersabar memenangkan hati Hafizh kembali.

Bagaimana mungkin, kini dia merasakan bahagia dan bersedih secara bersama. Apakah memang sudah tertulis sebagai takdirnya. Bahwa rasa syukur itu berbanding lurus dengan perjuangannya untuk kembali mendapatkan hati Hafizh Abiyyu. Apapun itu, telah menjadi keinginan Fatia bahwa dia akan menyerahkan seluruhnya kepada laki-laki yang kini menyandang predikat sebagai suaminya. Tentu saja setelah beberapa bulan ini Fatia ingin menghilangkannya karena pinangan Aftab namun ternyata Allah justru membalikkan semua cerita dan mengembalikan seluruh cinta dan hati Fatia kepada laki-laki yang telah membuat hatinya bergetar.

KAULAH KAMUKU [Telah Terbit]Where stories live. Discover now