7. Hana

47 9 5
                                    

Aku di kasur, merebah. Memeluk guling, menatap langit-langit.

Sekarang jam sepuluh. Kamar sudah gelap, dan hujan kembali turun. Malam semakin larut, dan aku masih memikirkan perkataan pamanku sore tadi.

Mendengarnya sangat mengejutkan. Tidak pernah sama sekali terbesit dalam benakku, sebuah ide tentang memiliki ayah baru.

Aku belum bilang apakah aku setuju atau tidak. Karena sejujurnya, aku tidak ingin ayahku digantikan oleh siapapun.

Pun, kuyakin ibuku juga sama. Aku pikir, jika ibuku memang mau, dia pasti telah mengutarakannya sejak lama.

Namun, seandainya pamanku berhasil meyakinkannya, aku tidak akan menghalangi. Aku hanya akan berharap, ibuku bisa mendapatkan teman hidup yang dapat mencintai, menyayangi, dan menyembuhkannya.

Walaupun mungkin, jika itu benar terwujud, akan sulit bagiku untuk dapat terbiasa dengan keluargaku yang baru.

Tiba-tiba saja, aku jadi merindukan ayah.

Ayahku pasti melihat apa yang terjadi hari ini, dan aku yakin, dia pasti akan turut senang seandainya menikah lagi adalah takdir ibuku. Bagaimanapun, ayah tentu tidak ingin menyaksikan ibuku terus menderita seperti sekarang.

Ayah, Hana kangen. Nanti datang, ya, ke mimpi Hana? Atau sekalian, ke mimpi ibu juga.

Ayah sudah jarang mengunjungi mimpinya Hana, pasti lebih betah di sana, ya? Surga memang lebih indah, sih.

Kalau saja tidak ada yang namanya dosa, Hana ingin menyusul ayah. Hana di sini cuma membawa bencana dan menyusahkan orang.

Kalau saja Hana tidak ada, ibu dan ayah pasti masih bersama dan merasakan kebahagiaan sampai sekarang. Maaf, ya? Kalau ayah harus punya anak cacat dan terkutuk seperti Hana.

Rasanya pasti berat bagi ayah dan ibu ketika melihat orang lain bisa mempunyai anak sesuai yang mereka harapkan. Seharusnya Hana memang tidak pernah dilahirkan.

Air mata menitik tanpa kusadari. Ah, selalu saja begini, mengasihani diriku sendiri. Aku memang pecundang yang menyedihkan.

Aku sudah lelah. Aku ingin berhenti merasakan semua ini. Entah mengapa aku harus terlahir ke dunia, jika hanya untuk dikutuk dan dibenci. Aku benar-benar tidak mengerti.

Sampai berapa lama lagi aku harus bertahan dari takdirku yang menyakitkan ini? Berapa banyak lagi orang-orang yang kehidupannya mesti kuhancurkan? Apakah semua yang telah kulalui masih belum cukup?

***

Entah apa yang terjadi selama aku tidak ada, namun hari ini—tiba-tiba saja—ibuku terlihat begitu gembira. Sudah begitu sejak aku pulang dari sekolah.

Kini, aku sedang menyuapinya makan siang. Karena sekarang hari jumat, sekolah hanya berlangsung setengah hari.

Bibirnya tidak berhenti tersenyum, tatapan matanya menjadi cerah dan lebih hidup. Tidak lagi kosong seperti biasanya.

Bahkan, makannya menjadi lebih lahap. Seolah, semua beban dalam benaknya terangkat.

Meski membingungkan, namun aku sangat bersyukur dan lega. Akhirnya aku bisa melihat lagi senyuman manis ibuku. Semoga kesehatannya bisa segera pulih, dan kebahagiaan yang datang padanya hari ini, akan bertahan untuk selamanya.

"Tadi, ayah datang ke mimpinya ibu."

Ah, begitu rupanya. Tidak heran.

Sayang sekali, ayah tidak turut mengunjungi mimpiku.

Kekuatan cinta memang hebat. Hanya dalam sekejap, mampu membuat ibuku merasa lebih baik.

Kalau sudah begini, aku tidak yakin rencana pamanku akan berhasil. Aku masih belum mengatakan tentang itu pada ibuku.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 16 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Suarakanlah Perasaanmu, Hana!Where stories live. Discover now