3. Hana

52 14 5
                                    

Jam 07:45.

Seisi kelas sibuk merayakan kegembiraan kecil pagi ini setelah ketua kelas membawakan kabar kalau jam pertama akan kosong. Guru yang bertugas berhalangan hadir, dan hanya menitipkan sedikit pekerjaan rumah pada kami.

Meski demikian, tidak semua dapat sepenuhnya merayakan momen yang langka terjadi ini. Contohnya ketua kelas. Gadis berkucir dua itu tidak henti-hentinya mengkondisikan kami agar tidak terlalu gaduh.

Tidak sepenuhnya berhasil, namun setidaknya cukup untuk mencegah laporan dari luar yang akan mengundang guru lain datang ke mari dan berakhir membuat kami dimarahi. Atau yang paling tidak diinginkan, diberikan tugas baru yang mesti dikerjakan saat itu juga.

Omong-omong, ketua kelas bukan satu-satunya yang tidak dapat merayakan momen langka ini. Masalah serupa juga menderaku. Bedanya, aku tidak bisa ikut bergembira karena tidak tahu mesti melakukan apa.

Jika di rumah masih ada yang bisa kulakukan, tapi di sekolah, kalau tidak ada kegiatan, maka melamun atau iseng melihat-lihat sekitar menjadi satu-satunya pilihan. Aku tidak punya teman, juga tidak memiliki hobi atau kegemaran yang dapat kubawa ke mari untuk mengisi waktu senggangku di sini.

Sedangkan ketua kelas, setelah situasi menjadi lebih terkendali, sekarang sudah bisa duduk bergabung bersama teman-temannya. Mengobrol entah membahas apa.

Yang lain, kegiatannya bermacam-macam. Dipojok kelas, lima anak laki-laki duduk melingkar di lantai, bermain gim ponsel bersama. Ada yang tidur, dan ada yang tersenyum-senyum sendiri bertukar pesan dengan seseorang di ponselnya.

Kurang lebih gambaran ringkas pengalaman masa sekolah yang katanya indah. Sesuatu yang tidak akan pernah kuketahui bagaimana rasanya.

Selesai dengan yang di sana, aku berpindah haluan ke sisi kelas yang lain. Pada bagian ini, perhatianku tertuju pada gadis yang duduk di sebelahku, berdampingan dengan jendela kelas. Namanya adalah Dian.

Tangannya yang kiri menopang pipinya sementara yang kanan membalik halaman buku dengan jarinya yang lentik-lentik berhias cincin perak yang melingkar di bagian jari manis. Rambutnya dikucir ekor kuda, bagian depannya dihiasi poni dan anak rambut yang menjuntai manis di kedua pipinya.

Parasnya begitu cantik. Sorot matanya yang tegas dan air mukanya yang selalu tampak serius membuatnya memiliki kesan anggun dan kuat. Tiap tatapannya seolah berkata pada siapapun untuk tidak coba bermain-main dengannya.

Baik, tapi pelit senyum, dan agak kurang ramah. Kecuali ke orang-orang tertentu, setidaknya dari yang kuperhatikan. Selalu tampak kesal, entah apa yang membuatnya begitu.

Sebagai teman sekelas, hubungan kami memang tidak dekat, tetapi aku menaruh kagum padanya. Aku mengagumi kepribadiannya, sampai aku kadang berandai bisa sepertinya. Maksudku, kalau saja aku setegas dia, segala yang kini terjadi pada hidupku mungkin dapat terhindari.

"Kenapa lihat-lihat?"

Dian mengejutkanku dengan tiba-tiba menoleh dan bertanya begitu. Menatapku sinis, seolah aku telah sangat mengganggunya.

Aku menggeleng, karena memang tidak ada maksud tertentu.

"Kalau mau bilang sesuatu, katakan. Aku tidak suka dengan orang yang cuma berani di belakang."

Tunggu, mengapa aku jadi dianggap seolah gemar menjelekkan dia dari belakang?

Karena sudah begini, maka agar lebih meyakinkan, di samping gelengan juga kugunakan isyarat tangan. Tidak ada perubahan dari ekspresinya, tapi yang terjadi selanjutnya benar-benar menjadi kejutan terbesar yang pernah dia tunjukkan kepadaku.

"Bagus kalau begitu," dia mengatakan itu ... dalam bahasa isyarat!

Aku yakin aku tidak salah lihat.

Suarakanlah Perasaanmu, Hana!Where stories live. Discover now