Coming Home?

Mulai dari awal
                                    

"Ini dia anak cheetah yang menyebalkan! Apa kau tidak tahu kalau aku tidak mau melewatkan waktu bersama anakku?"

"Aku tidak memintamu menjemput dan tolong berhenti memanggilku cheetah!"

Arsen memejamkan matanya saat tangan kakaknya terangkat ke arahnya. Nyatanya, Arsen tidak merasakan sakit malah hanya merasakan tepukan lembut di puncak kepalanya.

"Arsen, aku minta maaf,"

Arsen terkejut dan membuka matanya. Dia bahkan tercengang dengan ucapan yang dia dengar.

"Aku sedang minta maaf Arsen. Kenapa kamu menatapku seperti aku baru melakukan atraksi sirkus?"

Arsen tersenyum dan terkekeh.

"Aku heran. Kenapa kakak minta maaf?"

"Karena memang seharusnya begitu,"

"Kakak tidak salah. Hanya sedikit tidak sabaran saja,"

Ardan terkekeh kecil dan mengangguk. Memang benar. Dia dan Arman tidak sabaran saat mendengar ucapan adik mereka kalau sang adik mau memberikan Naira waktu untuk berpikir. Jadi, Arman menahan Arsen di dalam kapal dan Ardan keluar dan memainkan drama. Rencananya, mereka mau sedikit memaksa Naira.

Lalu, kejadian tak terduga itu terjadi. Naira tergelincir dan terjatuh. Harusnya, saat itu Ardan menyudahi permainannya dan menolong Naira. Tapi, Ardan malah menganggap itu sebagai kesempatan. Kesempatan bahwa mungkin saja, Naira bisa menyetujui kemauannya. Tapi, Naira malah memilih jatuh ke air padahal anak itu tidak bisa berenang. Ketidak sabaran Ardan dan Arman itu membuat Naira takut pada Arsen dan membuat Arsen memilih mundur teratur dari Naira.

"Kamu benar. Aku dan Arman memang sedikit tidak sabaran,"

Arsen tersenyum dan mengangguk. Dia mengajak ayah dan kakaknya untuk bertandang ke apartment-nya.

"Naira sakit, Arsen. Kamu tidak mau menjenguknya?"

Mata Arsen melebar sejenak, bahkan kakinya sempat berhenti melangkah sebelum dia melanjutkan langkahnya.

"Kalian sudah membawanya ke rumah sakit, kan? Kalau begitu, dia pasti sudah ditangani oleh dokter yang tepat,"

"Arsen..."

Arsen terus melangkah dan tidak mau mendengarkan kata-kata kakaknya. Dia memilih masuk ke gedung apartment-nya dan menyapa beberapa tetangga yang berpapasan dengannya.

"Dia sudah hampir dilamar orang,"

Arsen hanya menghela kecil.

"Berarti dia memang bukan jodohku," Arsen berujar pasrah.

Ardan dan Alvaro kehabisan cara untuk membujuk Arsen pulang. Padahal perihal Naira sakit itu benar adanya. Entah kenapa, sejak Arsen tidak pernah kembali dari Singapore dan datang kabar kalau Arsen memilih ke German, Naira langsing berubah. Anak itu menjadi lebih pendiam dan terkadang merenungi sesuatu.

"Ada lagi yang kalian mau bicarakan?" Tanya Arsen.

Ayah dan kakaknya justru malah saling pandang memandang. Akhirnya, sang kakak menghela berat dan menatapnya dengan serius.

"Sesuatu terjadi pada Naira dan kami tidak tahu apa,"

"Kalau begitu jangan dipikirkan. Mungkin itu urusan pribadinya,"

"Ya memang bisa jadi urusan pribadi. Hanya saja melihat anak itu setiap hari melamun dan seperti memiliki beban berat itu membuat kami bingung sendiri,"

"Mungkin dia khawatir pada Eren dan Lisa,"

"Bisa jadi. Tapi, apa iya cuma permasalahan itu saja?"

"Aku tidak tahu, kak. Kenapa kalian tidak tanya padanya saja?"

Arsen membawa buku-buku di meja ruang tamu ke kamarnya dan saat dia mendengar apa yang kakaknya ucapkan, saat itu juga buku di tangannya terjatuh dan bahkan salah satu buku tebal itu menimpa kakinya.

"Aduh!" Arsen meringis.

Sontak saja, Ardan dan Alvaro berlari mendekati anak itu.

"Kamu tidak apa?" Tanya Alvaro.

"Tidak apa pi. Hanya tertimpa buku saja. Lupakan soal itu," ujar Arsen lalu, dia menoleh ke sisi satunya dan menarik baju Ardan dengan kuat.

"Apa tadi kata kakak?"

"Eren pernah datang ke kantorku mengatakan kalau kakaknya dihampiri pria yang nampak kaya namun menyebalkan. Mereka tampak berbincang lalu, Naira nampak berwajah takut,"

"Kapan Eren mendatangi kakak?"

"Seminggu yang lalu,"

Arsen langsung merogoh saku celananya dan membuka ponselnya. Meski dengan nomor baru, dia menghubungi Eren dengan cepat.

"Halo, Eren? Ini aku Arsen,"

"Hn. Maaf, aku sedang di luar negeri,"

"Eren, apa seseorang mengganggu kalian belakangan ini?"

"Lalu?"

"Baiklah. Begini saja. Ajak Lisa dan kakakmu ke hotel manapun untuk sementara,"

"Tidak. Biayanya, kakak akan minta kakak kembarku untuk membayarkannya dulu,"

"Tidak Eren. Dengar! Kamu, Lisa dan kakakmu harus aman dulu. Urusan pria itu biar kakak yang urus nanti,"

"Tidak. Tidak akan lama. Paling lama tiga hari lagi kakak sudah ada di Jakarta,"

Mendengar ucapan Arsen itu, Ardan dan Alvaro tersenyum. Akhirnya, Arsen kembali ke Jakarta. Saat Arsen menutup panggilannya, dia melirik ayah dan kakaknya yang sedang tersenyum itu lalu, dia merapikan buku yang jatuh dan membawanya ke kamarnya. Arsen berkemas. Dia merapikan barang-barangnya. Keesokkan harinya, dia mengurus administrasi sekolah dan memohon maaf karena membatalkan beasiswanya.

Arsen segera pulang bersama dengan ayah dan kakaknya dengan cepat. Mereka naik penerbangan tercepat demi agar sampai di Jakarta lebih cepat. Jadi, disinilah Arsen sekarang. Di lobi sebuah hotel megah yang diberitahu oleh Arman.

Arsen melangkahkan kakinya dengan ragu. Perlahan dia menyusuri lorong berisi jajaran kamar itu. Bibirnya menggumamkan nomor kamar Naira dan adik-adiknya. Kakinya berhenti di depan kamar mereka. Arsen mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu di depannya. Namun, sepasang tangan lebih dulu memeluknya dari belakang.

"Kakak..." rengekkan itu membuat Arsen buru-buru melepaskan pelukan dari tangan ramping itu dan segera berbalik.

"Astaga!"

[DS #3] Save Me Hurt MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang