Bab 1 : Ini Bukan Ujian, Ini Penyiksaan!

796 79 85
                                    

Aku mengetuk-ngetukkan pensil ke meja yang sedang kupakai. Kulihat sekeliling orang-orang sedang serius dengan apa yang sedang mereka kerjakan. Aku bosan. Bukan berarti aku sudah selesai, melainkan karena sudah tidak tahu harus menjawab apa lagi. Tinggal lima belas menit lagi waktu untuk menyelesaikan ini semua, tetapi bahkan setengahnya pun belum aku isi. Lembar ujian konyol.

Orang-orang bilang, ujian yang dilakukan oleh sekolah di luar negeri—maksudku swasta—hanyalah formalitas belaka. Namun, kami semua tahu, ini semua lebih dari sekadar apa yang mereka pikirkan. Ujian tulis ini merupakan awal bagi kami. Nilai ini akan menentukan segalanya. Parahnya, meskipun tahu itu semua, aku tetap saja tidak bisa mengerjakan soal-soal ini dengan ben—lancar saja tidak! Aah, ingin sekali aku berteriak sekarang. Saat ini aku pasti sudah dipandang kurang waras karena menarik rambut sendiri dengan frustrasi. Kulihat jam digital di dinding sebelah atas papan tulis yang terbuat dari layar LCD. Lima menit lagi. Aku terlalu banyak bermonolog ternyata. Kukerjakan sisanya sebisaku saja.

Bersamaan dengan tanda titik di akhir kalimat di soal kelima dari sepuluh soal yang seharusnya kukerjakan—semoga pilihan gandanya benar semua—bel tanda istirahat pun berbunyi. Setelah ini, masih ada lagi ujian yang harus kulewati agar bisa diterima di sini.

Aku membereskan alat tulis dan memasukkannya ke dalam tas. Jangan sampai pulpen satu-satunya yang kumiliki jatuh dan—"puf"—hilang. Seolah benda itu lenyap sesaat ia menyentuh lantai. Entah berapa banyak korban-korban yang hilang diculik oleh sesuatu yang misterius. Aku tidak akan menyalahkan orang-orang iseng atas kejadian itu. Aku hanya menyayangkan kepergian mereka dan—kenapa aku malah membahas pulpen?!

Kulihat hampir semua orang sudah meninggalkan ruangan. Hanya aku dan beberapa orang yang sepertinya sedang membahas soal barusan yang masih tinggal. Aku harus segera ke kantin. Aku butuh bahan bakar untuk perutku. Otak ini tidak akan berjalan kalau bagian bawah tidak diisi dulu. Aku pernah ditanya saat lapar dan jawabanku yang keluar hanyalah, "hah?" atau "apa?" atau jawaban terbodoh yang tidak ingin aku ingat lagi. Dan aku tidak mau semua jawaban di lembar soal nanti terisi dengan kata "hah" atau kata yang sejenisnya.

Di sepanjang koridor menuju kantin, aku melihat beberapa anak sudah saling mengenal terlihat dari interaksi mereka. Aku merasa minder sendiri karena belum bisa berinteraksi dengan siapa pun. Tanpa sadar, aku berjalan menunduk sampai akhirnya aku menabrak seseorang.

"Hei!" seru orang itu terkejut. "Kalau jalan itu lihat-lihat," protesnya.

Aku mundur selangkah. Kulihat orang yang kutabrak itu adalah seorang laki-laki. Dia tinggi, bahkan aku saja mungkin tidak sampai melewati dadanya ... yang bidang. Astaga, dia tampan. Aku seperti terhipnotis saat melihatnya. Kulit yang cerah. Mata tajam dengan iris hitam yang seolah dapat membuat siapa saja yang menatapnya tenggelam. Hidung mancung yang tidak berlebihan. Rahang tegas yang menawan. Gaya rambut yang dapat membuat siapa pun jatuh hati.

Dia juga sangat keren. Karena ini adalah hari ujian, maka semua calon murid yang datang ke sini boleh memakai pakaian bebas, dan oh, harus kukatakan: pakaian hitam ketatnya itu membuat otot dadanya tercetak dengan jelas, lengannya terekspos dengan indah. Aku penasaran dengan otot perut—astaga, aku mulai kelewatan! Aku bahkan tidak yakin kalau dia adalah calon murid. Namun, aku belum mau menghentikan sesi monologku ini. Biar kulanjutkan. Kemeja flanel kotak-kotak yang diikat di pinggang membuatnya terkesan "cool". Setidaknya itu yang kupikirkan. Kalau kau punya pendapat lain, silakan. Aku tidak akan protes. Dia—

"Kenapa kau melihatku seperti itu?" tanyanya membuyarkan lamunanku. Ah, sesi monologku!

Matanya memicing tidak suka. Aku jadi salah tingkah sendiri. "Ma-maaf!" ujarku pada akhirnya. Aku refleks menunduk kemudian pergi meninggalkan lelaki itu. Pipiku pasti sudah seperti kepiting rebus sekarang. Aku tidak yakin bisa melupakan wajah itu untuk beberapa jam ke depan.

Avatar System: Juvenile State (END)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu