Bab 29 : Sebelum Semuanya Berakhir

78 20 9
                                    

Pertarungan itu seri. Juara itu tidak ada. Aku dan Arennga sama-sama tidak tahu siapa yang menang. Bahkan setelah UAS pun, konflik kami belum berakhir.

Aku meminta Rama menjadi samsak tinju, tempat menumpahkan kekesalanku. Ralat, memegangi samsak tinju. Tidak mungkin aku memukulinya sampai bonyok atau menjadi bahu tempatku bersandar menumpahkan emosi sambil memeluknya erat. Yang terakhir tidak akan pernah mungkin terjadi kepada siapa pun.

Aku memukul dengan marah. Bertubi-tubi. Rama sampai harus bertahan agar tidak terjengkang. Aku menendang sembarangan; membayangkan Arennga yang menjadi sasaran.

Setelah UAS selesai, sekolah bebas pelajaran sampai satu minggu sebelum pengumuman peringkat. Selama itu pula, diadakan class meeting, sebuah acara yang biasanya berisikan pertandingan olah raga atau seni untuk mengisi waktu. Aku tidak ikut. Terlalu sibuk menempa diri untuk pertempuran terakhir.

"Kau mau sampai kapan seperti ini, Chloe?" tanya Rama sambil terus memeluk samsak yang kutendang-tendang.

"Sampai mencapai batas!" Kutendang samsak itu lebih kuat. Bugh! Kakiku terkilir.

Aku meringis, memeluk pergelangan kaki yang nyut-nyutan. Rama lekas menghampiri, memeriksa bagian yang sakit. "Samsak sialan."

"Kita bisa berhenti sekarang, 'kan?" tanya Rama sambil memegangi kakiku.

"Ck. Baiklah." Aku berusaha berdiri, tetapi kakiku terasa ngilu. Jalanku bahkan sampai tertatih.

"Sini kubantu," tawar Rama sambil menuntunku. Dirasa kurang membantu, Rama akhirnya menawari untuk menggendong.

Perlu waktu sepuluh menit bagiku untuk setuju. Aku tidak ingin orang-orang salah paham dengan apa yang terjadi. Kami tidak pacaran. Aku tidak ada waktu untuk itu.

Kami keluar dari tempat latihan olah raga Muay Thai. Untung saja hampir semua pertandingan dilakukan di gimnasium utama, sehingga tempat bela diri masih bisa digunakan untuk latihan.

Rama menggendongku dari sana sampai ke depan pintu kamar. Sebenarnya laki-laki tidak boleh berada di lantai perempuan begitu juga sebaliknya. Akan tetapi, karena ini darurat, jadi peraturan itu dapat dilanggar. Di sepanjang perjalanan bahkan belasan pasang mata keheranan dengan tingkah kami. Aku harus menunduk dan menyembunyikan wajah di balik punggung Rama agar tidak malu.

Setelah seharian penuh berdiam diri tidak melakukan apa-apa, besoknya Rama mengajakku melihat Anastasia bertanding lomba panahan. Gadis itu sempat menjengukku ketika malamnya aku terkilir dan mengingatkan untuk melihatnya di semifinal nanti. Untung saja kakiku sudah sembuh saat itu tiba.

Tempat Anastasia bertanding berada di gimnasium tempat aku biasanya melatih diri bersama Rama. Saat kami ke sana, tribune-tribune sudah dipenuhi oleh para murid dari setiap angkatan yang menonton. Sorak-sorai bergema di seluruh ruangan, mendukung juara masing-masing. Di depan sana, lima orang berdiri berjajar memegangi busur bersiap menembak target. Anastasia berada di posisi ketiga.

Aku dan Rama mengambil tempat duduk yang agak belakang. Anastasia tidak terlalu terlihat dari sini. Namun, kami masih bisa melihat semua peserta tanpa ada halangan.

"Hal ini mengingatkanku saat MOS," bisikku pada Rama. Lelaki itu hanya mengangkat satu alis sebagai respons.

Pertandingan pun dimulai. Satu per satu pemanah menembak. Mereka diberi kesempatan menembak dua kali. Kebanyakan dari mereka tepat sasaran, tetapi tidak dengan Anastasia. Ia lebih dari tepat sasaran. Ia menumpuk kedua panah tepat di satu titik!

Semua orang bersorak, tidak terkecuali aku. Ternyata, selain jago pemrograman, gadis itu juga jago memanah. Tidak aneh bila aku kewalahan dengan panah-panah Artemis.

Avatar System: Juvenile State (END)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ