Tidak, bukan begitu jalan ceritanya. Saat itu Reina benar-benar sadar, tak ada sedikit pun mempengaruhinya. Dia memang benar-benar tertarik terhadap benda itu.

Setiap liburan ke mana pun itu, ada saja cendera mata yang dibawanya pulang. Topeng Venesia menjadi cendera matanya kali ini. Yang memicunya yakin menerima topeng secara cuma-cuma serta membeli pasangan topeng itu untuk orang tak dikenalnya, karena cerita yang disampaikan si pemilik toko tentang sebab-musabab kenapa dirinya menjadi bagian dari sebuah permainan, dan itu yang membuatnya berkesan, sampai saat ini masih merasakannya meski tampak konyol dan aneh. Kata yang menempel saat itu di pikirannya ketika berusaha menerima topeng itu tanpa beban, 'tidak ada salahnya mencoba'.

***

Setelah setengah jam berlalu menghabiskan waktu di ruang mandi pribadinya, Reina langsung bergegas memperindah tubuhnya yang putih dan bagus bagaikan jam pasir dengan benang-benang yang telah menyatu dalam seribu rajutan, dan siap menutupi tubuhnya yang membutuhkan perlindungan.

Reina kembali melirik ponselnya, terpampang sebuah komentar baru dalam dinding IG-nya. Unggahannya tadi ternyata ditanggapi dan disukai seseorang, foto yang bagus dan objek yang di foto bagus juga, komentar dengan nama akun Ferdinand. Reina sama sekali tidak menyadari nama itu, walaupun menyadarinya tidak akan mungkin pria asing berada di benua biru mengerti kata-katanya dan mengomentarinya dengan bahasa yang sama.

Perihal apa yang membuatnya harus menyadari nama tersebut?

Sebegitu pentingkah nama itu?

Siapa pun dia, Reina tidak menanggapi balik. Setidaknya mengetik kata 'terima kasih' atas pujian dari sebuah akun yang menggunakan keindahan kota Venesia sebagai foto profilnya, itu sudah cukup, tapi itu tidak dilakukannya.

Reina tidak terlalu serius melihat unggahannya yang barusan ditanggapi seseorang, dan sama sekali tidak ada rasa ingin tahu siapa yang mengomentari unggahannya.

Selain sering menggugah foto menarik di instagram, dia tak lupa juga memposting foto-foto yang sama di akun facebook-nya. Tadi siang, dia juga memposting foto topeng itu di fb-nya.

Selepas melihat kembali sejenak IG-nya dengan rasa yang tetap datar tanpa turun-naik, Reina membuka akun fb-nya melalui telepon genggamnya juga. Postingan foto yang dimasukinya tadi, satu pun dari sekian banyaknya pertemanan belum ada menanggapi. Apa mungkin pengambilan fotonya kurang bagus, atau yang jadi objek foto kurang menarik padahal sebelumnya seseorang telah memuji hasil jepretannya. Sudahlah tidak penting, pikirnya dan seketika itu seseorang meminta pertemanan di dinding akun fb-nya. Tanpa berkata atau berpikir panjang 'bagaimana ya?', Reina langsung menerima pertemanan dari seseorang dengan mengkonfirmasinya.

Beberapa menit berlalu. Tiba-tiba sebuah pesan online muncul di dinding akun messenger-nya. Langsung menyimpulkan meski dibumbui sedikit ragu. Mungkinkah ini orang yang sama, pikirnya. Nama akun dan foto profil sama seperti yang mengomentari unggahannya di IG. Yang tadinya Reina acuh kini jadi sedikit penasaran, namun sesaat.

"Boleh nggak, aku berteman denganmu?" pesan singkat berupa harapan. Padahal Reina sudah menerima permintaan pertemanannya, kenapa harus bertanya lagi. Meski, mungkin atau tidaknya si pemilik akun orang yang sama di IG-nya, tetap saja identitasnya tidak jelas. Begitu juga dengan Reina, memakai nama samaran di kedua akun sosial-medianya malahan dengan nama tak jelas 'menjelang senja' dan buruknya lagi tidak ketahuan dia laki-laki apa perempuan yang hanya menggunakan foto profil seekor anak kucing British shorthair manis dan lucu, merupakan ras kucing tertua yang memiliki perawakan besar dan gembul serta bulu yang tidak panjang tapi lebat, kecuali kalau melihat album fotonya atau postingannya di akun itu. Nama dan foto akunnya saja tampak berbeda, namanya seakan melukiskan dia seorang pujangga  namun foto akunnya menggambarkan dia seorang pecinta binatang.

Reina tidak memedulikan lagi jati diri teman barunya itu di dunia maya. Toh, dia juga sama tidak menunjukkan jati diri sebenarnya. Kalau niatnya sekedar berteman, 'kenapa tidak' bisik hatinya. Segera memutuskan bahwa dirinya merasa tak terganggu dengan pertemanan ini sebab sampai detik ini Reina belum menemukan keganjilan terselip dari maksud ajakan pertemanan seseorang di balik akunnya tersebut. Tanpa berprasangka buruk, Reina segera menanggapinya.

"Boleh....."

Seseorang di balik akun messenger itu tersenyum puas seolah dirinya baru saja memenangkan sebuah permainan. Sepertinya dia harus memulai sesuatu dengan baik dan berharap direspons baik pula―membentuk sebuah percakapan yang menyenangkan meski melalui kumpulan kata diketik di atas layar ponselnya.

Saatnya untuk mengenal seseorang lebih jauh lagi.

"Terima kasih telah menerimaku sebagai teman, kalau begitu sebagai awal perkenalan ataupun permulaan, boleh aku menyapa kabarmu malam ini?"

Reina tidak langsung membalasnya, dia sedikit merasa canggung. Seseorang yang menjadi lawan bicaranya meski cuma melalui dunia maya tidak dapat menyembunyikan kesopanan lawan bicaranya dalam merangkai kata yang santun. Reina jadi penasaran, ingin lebih tahu siapa sebenarnya orang ini. Sejenak dia membuka profil dan album foto dari teman mayanya, sama sekali tidak menemukan sosok foto si pemilik akun, yang ada hanyalah keindahan setiap negara yang ada di benua Eropa. Tapi, setidaknya dia tahu lawan bicaranya seorang pria, jelas dari nama akunnya, Ferdinand.

"Boleh....." Kata kedua kalinya Reina ketik sebagai jawaban.

"Hai, apa kabar?" sapa pria itu memulai.

"Baik....!" balas Reina mulai cekatan.

"Pastinya kamu seorang perempuan!" tebak pria itu.

"Iya, kok kamu tahu?" malah balik nanya.

"Dari foto-foto postingan kamu, ada tanaman seperti bunga, ada busana wanita kendati model pakaiannya tampak tomboi, serta berbagai macam masakan lokal maupun luar dan lain sebagainya, tentunya ini semua sangat melekat dengan perempuan."

"Kamu sendiri?" tanya Reina balik.

"Dari nama profilku, kamu sudah bisa menebak?"

"Iya sih, dari awal aku sudah menebak kamu pastinya laki-laki." Tanpa menyadari kalau nama si pemilik akun bisa saja mengingatkannya pada seseorang yang sama sekali dia tak mengenal wajahnya karena tak pernah bertemu ataupun bertatap muka. Tapi, itu sama sekali tidak menyapa pikirannya untuk mengingatkannya pada sesuatu.

"Itu kamu tahu."

Canggung, berangsur menghilang ditelan bulat-bulat oleh rasa percaya dirinya bahkan pembawaannya pun turut jadi ringan. Sama sekali tidak ada lagi beban dipikul pikirannya yang awalnya sedikit ragu tentang keberadaan teman mayanya itu.

"Pekerja atau pelajar?" pertanyaan yang pada umumnya digunakan orang di awal perkenalan di media sosial di jaman beberapa tahun yang lalu seperti mirc maupun friendster, entah kenapa masih digunakan pria itu di jaman sekarang.

"Aku mahasiswa, kamu sendiri?" jawab Reina langsung dan tetap menanyakan balik, dan secara tidak langsung dirinya turut berbaur dengan gaya anak muda jaman dulu.

"Sama, aku juga mahasiswa. Kamu kuliah di mana?"

"Itu rahasia, kamu sendiri?" jawab Reina tidak begitu terbuka, tapi anehnya dia menanyakan balik hal yang sama yang tidak ingin dijawabnya.

"Itu rahasia juga," balas pria itu.

Berteman lewat dunia maya ternyata mudah dan mengasyikkan, membatin Reina. Tapi sayang sebagian orang banyak menggunakan dunia ini untuk sebagai alat ngisengin orang. Untung saja, pria yang baru dikenalnya di facebook sampai saat ini tidak menunjukkan hal seperti itu, tapi tidak tahu beberapa menit  ke depan apa dia dengan sikap yang sama.


Terima kasih sudah mampir ke Bab 9 Sepasang Topeng Venesia

Tetap ikuti terus jalan ceritanya, dan jangan lupa di "vote"

Selamat membaca!

Sepasang Topeng VenesiaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon