3

59 5 0
                                    

Beberapa menit berlalu, tiga pria bertubuh tinggi dan tegap dengan raut muka mereka yang jantan dan memesona, sedang berdiri dan menatap sesuatu dengan penuh nafsu. Sementara itu, ketiga gadis itu, Reina kembali sibuk dengan telepon genggamnya, Arta dengan bukunya, sedangkan Amanda berhenti sejenak memandangi dirinya dalam cermin, duduk tanpa melakukan apa pun hanya melihat sekitarnya, tak jauh dari posisinya duduk seketika dia melongo mengikuti arah tatapan ketiga pria muda itu.

Jreng...!

Ternyata mereka menatap sepasang lansia lagi mesra-mesranya memadu kasih. Amanda ketawa ngakak dengan sendirinya.

"Eh ada apa Man, kemasukan setan mimpi lagi ya?" tanya Arta yang bingung di sebelahnya sambil menutup buku bacaannya, begitu juga Reina sejenak berhenti memandangi ponselnya.

"Itu.....tuh.....ketiga cowok tampan itu!" seraya menunjukkan. Reina dan Arta mengikuti arah telunjuk temannya, dan mereka pun ikut merasa geli memerhatikan ketiga pria itu. Namun, Reina dan Arta tidak perlu menunjukkan gelak tawanya, cukup hati saja tergelitik melihat sikap ketiga pria itu yang tidak bisa menempatkan nafsu pada tempatnya, tapi Amanda tetap ketawa ngakak.

Salah satu pria mukanya memerah dan malu karena menyadari dirinya dan kedua temannya sedang diamati Reina beserta teman-teman gadis itu. Bukan lantaran wajah rupawannya membuat mereka jadi bahan perhatian, melainkan kenakalan mata mereka memandangi lansia yang sedang dimabuk asmara.

"Lucu ya! Yang begituan dijadikan sebuah tontonan, apalagi pakai nafsu kecuali ingin tampil bodoh atau mereka benar-benar bodoh." Reina dengan suara yang keras mempertegas ucapannya, tapi tidak terlalu mengamati ketiga pria itu, sekadar melihat kelakuan mereka yang aneh sebentar. Di pikirannya mereka tidak akan tahu apa yang diucapkannya, mereka itu orang asing, mungkin dari Thailand atau Filipina. Namun, Amanda mendadak terdiam lantaran melihat wajah salah seorang ketiga pria itu yang sedari tadi menyadari mereka sedang diperhatikan, sepertinya mengerti apa yang barusan diucapkan Reina. Seakan pria itu ingin menerkam dan mencabik-cabik mulut yang merendahkan keberadaannya dan kedua temannya.

Salah satu dari mereka bertiga, pria itu yang bertubuh tegap, atletis, tinggi dan berkulit putih bersih serta rambut lurus yang mengenakan kemeja flanel dengan kancing terbuka, dan dalamannya mengenakan kaos putih oblong, tidak terima mereka dikatakan seperti itu. Dia meninggalkan kedua temannya yang masih menyaksikan kedua lansia itu, lalu mendatangi Reina dengan membawa emosinya.

"Kamu barusan mengatakan kami apa? Aneh dan bodoh!" gertaknya. Reina mendadak terdiam, tidak menyangka kalau pria ini berasal dari negara yang sama dengannya. Tapi, dia tidak bisa menerima begitu saja dirinya dibentak di depan orang banyak. Dia membalas, tak mau dipermalukan meski tadi sudah melontarkan perkataan yang menyinggung pria itu.

"Iya benar! Kalian bertiga itu aneh, berkat mata kalian yang jelalatan memandangi kakek-nenek itu." Reina tak mau kalah.

Kedua lansia mendengar pertengkaran mereka, bingung, kenapa harus mereka dijadikan bahan pertengkaran atau bingung apakah memang benar mereka yang dijadikan bahan pertengkaran. Karena dari sekian banyak orang yang berada di ruang tunggu hanya mereka berdualah yang paling tua, jadi benar kedua anak muda itu sedang membicarakan mereka. Sementara kedua teman pria itu yang mendengar pertengkaran tersebut, tersadar dan langsung mengalihkan pandangan ke teman mereka yang melabrak seorang gadis, dan mendekatinya.

"Sudah Marcel, jangan ciptakan kegaduhan di negara orang," ucap temannya dengan menyebut nama pria itu. Sementara temannya satu lagi sudah hafal dengan sikapnya yang keras kepala, jadi dibiarkannya saja, tak mau ikut campur, padahal ini kebiasaannya untuk menegur, "nggak perlu kau layani itu cewek."

"Diam kau Mario, ini urusanku dengan dia. Tumben kau mau menegurku seperti ini, biasanya Martin." Malah Marcel memarahi temannya. Sementara Reina dan kedua temannya hanya diam mendengar percakapan kedua pria itu. 

"Martin, nggak mau cari keributan di negeri orang. Memangnya cewek itu sudah berbuat apa sampai kau kesal?" tanya Mario, sedikit pun tidak terpancing emosinya ketika Marcel membentaknya. Awalnya menegur sekarang jadi ingin tahu, sikap tak jelas.

"Barusan kau dengar apa yang dikatakannya?"

"Aku nggak mendengar apa-apa," jawab Mario polos karena pendengarannya terhapus oleh penglihatannya yang fokus terhadap kelakuan kedua lansia yang tak sadar akan usia mereka.

"Suaranya yang begitu keras, sama sekali kau nggak dengar?"

"Serius.....aku sama sekali nggak mendengarnya, Marcel."

"Makanya kalau nggak dengar apa-apa dan nggak tahu apa-apa, lebih baik diam." Entah kenapa seketika itu Mario diam, dia menuruti perintah temannya. Dan tidak lagi menahan sahabatnya yang berbuat sesukanya di negeri orang, dan Marcel kembali meluapkan emosinya pada Reina.

"Itu hak kami! Mau kakek-nenek itu bermesraan dengan gaya yang konyol bahkan bugil sambil menari-nari di atas lantai atau melebihi dari itu, terserah kami mau memelototinya atau nggak, itu bukan urusanmu." Marcel tidak menyadari kalau orang tua yang sedang dibicarakannya juga berasal dari Indonesia.

Perempuan tua yang mendengar dirinya dikatakan sedikit vulgar oleh Marcel, bangkit dari bangku dan langsung mendatanginya dengan membawa tongkatnya.

"Anak muda sekarang, omongannya nggak pernah sopan terhadap yang tua. Dikasih makan apa kamu oleh orang tuamu di rumah sampai mengatakan nenek seperti itu." Perempuan lanjut usia itu marah sambil memukul-mukul kaki Marcel dengan tongkatnya.

"Ampun nek.....ampun, saya bukan ngatain nenek." Ucap Marcel yang kesakitan sambil jingkrak-jingkrak menghindari pukulan berkali-kali dari perempuan tua itu.

"Bohong...! Barusan yang dia omongin, nenek kok." Ujar Reina berusaha menahan tawanya. Arta hanya sekedar tertawa, namun Amanda beserta orang-orang di sekitarnya malah tertawa sepuasnya menyaksikan pria muda itu dipukuli, sementara teman-teman Marcel berusaha menyelamatkannya dari amukan wanita tua tersebut.

"Awas kamu nanti, kalau ketemu, aku bakal....." belum sempat menyelesaikan ucapannya pada Reina sambil mengacungkan jari tengah tangan kirinya 'sialan', namun si nenek kembali mendekati Marcel, "kaburuuuurrr.....!"

Tubuhnya saja yang tinggi atletis, tapi nyalinya kecil, sekecil butiran pasir di pinggir pantai tatkala berhadapan dengan perempuan tua bertongkat. Seakan pria muda itu berhadapan dengan pendekar wanita dari Tiongkok.

Berlari dan meninggalkan jejak, sungguh sesuatu yang memalukan dipertunjukkan di hadapan para penumpang yang sedang duduk menunggu jam keberangkatan.

Terima kasih sudah mampir ke Bab 3 Sepasang Topeng Venesia

Tetap ikuti terus jalan ceritanya, dan jangan lupa di "vote"


Selamat membaca!

Sepasang Topeng VenesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang