5. Tentang Cakrawala

76 14 10
                                    

Ada banyak hal di dunia ini yang nggak semua orang bisa mengerti. Termasuk perasaan manusia. Kadang perasaan juga tidak bisa dimengerti diri sendiri. Bagaimana dengan orang lain? Haruskah kita menuntut mereka agar mengerti sementara memahami diri sendiri pun kita tidak bisa?

Manusia juga ahli dalam berperan. Semua orang di dunia ini adalah aktor dan aktris dalam panggung sandiwara yang mereka ciptakan sendiri. Teman-teman dan lingkungannya adalah penonton, mereka hanya melihat apa yang nampak dari kita, mereka tidak benar-benar mengerti kehidupan kita yang sebenarnya seperti apa. Karena apa yang terlihat dari luar, belum tentu sama dengan yang ada dalam diri mereka.

Seorang laki-laki yang baru selesai kelas berjalan menyusuri jalan yang menghubungkan antarfakultas itu yang dinaungi oleh pohon-pohon rindang. Ia menuju pelataran parkir motor dan mengendarainya untuk keluar area kampus. Kebiasaan ketika selesai kelas dan memiliki jeda waktu yang lama adalah ia akan datang ke warung makan dengan berbagai macam hidangan yang dikenal dengan nama warung burjo di dekat kampus. Sebenarnya burjo itu singkatan dari "bubur kacang ijo". Namun, yang dijual disana tidak hanya itu saja, melainkan makanan menu sehari-hari lengkap dengan minumannya juga. Ia dan teman-temannya sering nongkrong disitu. Makanya saat ini ia datang kesana untuk sekadar berbincang dan makan bersama mereka.

Ketika di traffic light, Cakra berhenti tepat di depan garis zebra cross, yang menjadikan ia dapat melihat apa pun di depannya. Sedang santai memandang sekeliling sembari menunggu lampu merah itu berubah menjadi hijau, seseorang berjalan menyeberang bersama ibu yang sudah tua renta dan menggunakan penyangga untuk menopang tubuhnya melintasi zebra cross tersebut. Sang gadis dengan sabar dan telaten merangkul bahunya untuk membantu melangkahkan kaki sampai ke tepi jalan sana.

Cakra tadinya tak menghiraukan siapa mereka. Namun ketika lewat persis di depannya, Cakra seperti mengingat sesuatu tentang si gadis itu. Ia yakin pernah melihat dia sebelumnya. Namun ia lupa kapan dan di mana. Sesaat pandangan matanya mengikuti kemana arah mereka berjalan, sampai akhirnya lampu yang tadinya merah sudah berubah menjadi hijau. Laki-laki itu pun kembali melaju tanpa lanjut memikirkan siapa gadis itu.

Pengendara tadi yang tidak lain adalah Cakra telah menghentikan motor trailnya di parkiran depan warung. Di burjo itu memang sudah seperti markas untuk para mahasiswa cowok sih, cewek hampir nggak ada yang datang ke sana, karena mungkin ya merasa tidak nyaman dengan cowok-cowok yang nongkrong disitu. Ia meletakkan helmnya di spion kemudian berjalan masuk ke warung.

"Cak! Wis muleh ta kowe? (Udah pulang kamu?)" Kata Rama yang sudah lebih dulu disana menyambut jabatan tangan Cakra.

"Yoi," lalu Cakra berjabat tangan dengan teman-temannya yang lain.

Sebenarnya Cakra mengerti bahasa jawa sedikit demi sedikit. Hanya saja ia tidak bisa mengucapkannya. Itu akan terlihat aneh lantaran ia bukan penduduk jawa asli, walaupun Ayahnya berasal dari Jawa.

Sejak kecil hingga saat ini, tempat tinggal Cakra sempat pindah sebanyak tiga kali. Sejak itu pula ada banyak hal yang terjadi dalam hidupnya.  Cakra yang sekarang sudah jelas berbeda dari Cakra yang dulu.  Mungkin hidup Cakra terkesan sulit bagi orang lain yang tidak tahu bagaimana kisahnya, tetapi memang semua itu ada sebabnya. Sebab yang Cakra sendiri malas untuk mengungkit kembali. Kini, hidupnya sudah ia sendiri yang menentukan akan dibawa kemana nasibnya. Ia selalu berusaha tidak ingin mengandalkan keluarga, bahkan ketika ia memiliki privilese sekalipun. Karena Cakra tahu, ketika ia selalu menurut apa kata keluarganya, ia tidak akan bisa 'bebas'.

Ia kemudian duduk berbaur dengan mereka dan mengundang bapak pelayan burjonya untuk memesan sesuatu.

"Nasi magelangan ya, Pak! Minumnya es teh,"

At The End Of The DayKde žijí příběhy. Začni objevovat