"Bobo ya," ujar gue lalu ngematiin teleponnya. Gue bodoh ya? Masih suka malu bilangin kata-kata i love you ke Bin? Padahal udah mau tiga tahun kita bareng-bareng.

•••

Setelah Irwan mutusin sambungan telepon kami, aku masih belum bisa tidur. Aku ngeletakin hapeku ke nakas lalu menatap langit-langit kamarku yang berwarna biru.

Aku tidak memikirkan kenapa Irwan tidak membalas ucapan 'I love you'-ku dengan 'I love you too' karena Irwan telah menunjukkannya dengan tindakan. Kalau aku memusingkan hal itu, pasti akan menjadi masalah. Aku tidak mau ada masalah lagi dengan Irwan. Aku benar-benar takut kehilangannya.

Momen satu jam di bukit tadi masih tergiang-giang di pikiranku. Itulah yang membuat aku belum bisa tidur sampai saat ini. Untung besok minggu, jadi tidak perlu takut untuk terlambat ke sekolah.

"Bindel!!!" aku kaget mendapatkan teriakan dari Widya. Ia membuka pintu kamarku lalu langsung berbaring di kasurku.

Matanya sembab, seperti habis nangis.

"Kenapa?" tanyaku sembari duduk.

"Gue diputusin Petra!" ujar Widya, siap-siap deh jadi teman curhat dia malam ini. Udah pukul dua belas pula.

"Kapan?" tanyaku, agak penasaran juga sih.

"Baru aja, lewat telpon. Gue gak pernah senyaman ini sama cowok," cerita Widya. Air matanya mulai turun lagi.

"Alasannya?" udah kayak wartawan aja, aku nanya mulu.

"Kata dia, dia mau fokus belajar mau UNBK nanti, terus katanya, Mama dia gak suka sama aku. Padahal, kemaren pas aku ke rumah Petra, Mamanya baik banget sama aku. Ngajarin masak, nyeritain tentang Petra sama aku. Aku yakin dia bohong!" ujar Widya dengan tangisnya yang sudah menjadi-jadi. Untung kamar ibu jauh, jadi tidak akan kedengaran.

"Udahlah Wid, kalau emang dia bilang gitu ya gausah ditangisin. Kalau jodoh, pasti gak bakal ke mana. Kalau gak jodoh ya mau gimana? Kalo gitu bukan Kak Petra yang terbaik buat kamu. Sabarin aja, kalau emang dia cinta sama kamu, dia pasti bakal balek sama kamu, udah ya sana tidur." Nasihatku sekaligus mengusir dia. Aku sudah mulai mengantuk.

"Lo?!" kesal dia sambil bangun dari kasur lalu. Dia memelototiku lalu berjalan mendekati pintu.

"Udahlah, mungkin prank. Lusakan kamu ultah," ujarku mengingatkan bahwa dia besok ulang tahun. Kalau benar, Kak Petra so sweet banget. Jadi pengen Irwan juga kayak gitu. Eh, kalau beneran tapi, kalau enggak ya kasian banget dong si Widya, mau ulang tahun malah diputusin. Kasian!

Widya ke luar dari kamarku. Aku segera berdoa, setelah berdoa aku segera berbaring, menarik selimut kemudian memeluk gulingku dan segera tidur.

•••

Minggu siang, aku hanya berdiam diri di kamar. Memainkan ponselku sambil mencomoti kue buatan ibu yang sengaja kubawa ke kamar.

Tina, gadis itu sedang dalam perjalanan menuju ke sini. Aku mau menceritakan semua kejadian di antara aku dan Irwan kemarin. Ya, aku orangnya harus menceritakan apa yang kurasakan pada seseorang. Enggak tahu kenapa.

"Binder!" Tina menggedor pintu kamarku dengan tidak santai. Kamarku memang kukunci agar Widya tidak masuk, aku sedang tidak ada niat mendengar curhatannya. Aku membukakan pintu untuk Tina, lalu kembali menutupnya.

"Aku udah kepo. Ayo cepat ceritain!" desak Tina sambil memegangi tanganku. Gak sabaran banget.

"Santai dulu, santai, duduk dulu," ujarku menenangkan gadis ini.

"Gue gak bisa santai kalo lo belum cerita!" Nah, lo-guenya udah ke luar.

Aku memilih duduk di kasur supaya Tina mengikutiku. Benar, dia mengikuti duduk di kasur dengan tatapan penasaran.

"Jadi gini, tadi malam aku dijemput sam--"

"Bin, buatin si Tina minuman," teriak ibu dari bawah.

"Gausah tante, nanti aku ambil sendiri," balas Tina teriak juga. Dikira hutan apa ya, teriak-teriak. Sepertinya dia memang begitu penasaran, biasanya kalau ibu ngomong seperti itu Tina pasti akan mengompor-ngompori dengan berkata, "Iya nih tan, Bin gamau buatin katanya.' kampret memang.

"Ayo dong lanjut!" desak Tina lagi.

Aku menarik napas pelan lalu mulai menceritakan setiap hal yang terjadi di antara aku dan Irwan malam minggu kemarin. Tina diam, mendengarkan ceritaku dengan takjub.

"Gila, gila! Sweet banget si Irwan, kok jadi berubah ya dia. Dulu aja cuman kata-kata dia yang sweet, eh, itupun kadang," komentar Tina sekaligus mengingat betapa membosankannya berpacaran pada Irwan dulu, itu pendapat Tina dari setiap curhatanku dulu padanya.

"Sekarang kalo kata-kata gak sweet lagi," ujarku mengingat Irwan yang sudah berubah.

"Gapapalah, tindakan lebih berharga daripada sekedar kata-kata manis yang gak ada pembuktian," ujar Tina semangat.

"Udah mulai berani ya si Irwan, dulu megang tangan aja gemetar, hahaha," ledek Tina.

"Ye si kampret! Mentang-mentang Irwan gadak di sini, kamu berani ngeledek," belaku gak terima Irwan diledekin.

"Selo ih, becanda-becanda," ujar Tina masih dengan tawanya.

"Eh, tau gak, aku masih deg-degan kalo ingat itu semua, masih membekas banget!" ujarku menceritakan perasaan yang ada di hatiku sampai sekarang ini.

"Semoga aja deh, kalian jodoh. Gak kebayang kalo kamu bukan jodoh Irwan, pasti move on-nya susah banget," ujar Tina.

"Terus kasian Irwan, udah jagain jodoh orang, manjain jodoh orang, terus dimarahi jodoh orang," kata Tina sambil tertawa. Kutahu dia becanda tapi, karena kata-katanya aku malah menjadi kepikiran.

Benar juga yang dikatakan Tina.

Aku berharap, dia yang sekarang bahagia bersamaku adalah orang yang akan kulihat setiap bangun tidur nanti.

•••

Mantan Kok Romantis [COMPLETED]Where stories live. Discover now