8.

57 4 1
                                    

Emosiku memuncak, saat melihat Robert sedang mencium paksa Vienna yang sedang berusaha sekuat tenaga untuk menolak sambil menangis. Langsung saja, aku menarik tubuh Robert dan memukul wajahnya. Aku lihat Vienna rambutnya berantakan, makeupnya berantakan karena air matanya. Melihat air mata Vienna, membuatku kembali bersemangat memukul Robert. Kembali aku lihat Robert yang sedang berusaha berdiri dari lantai.
"Apa yang kau lakukan disini?" Teriaknya.
"Apa yang kau lakukan terhadap Vienna?" Teriakku balik kepadanya.
"Bukan urusanmu." Robert, melihat kearah Vienna, berkata :
"Apakah Bima yang membuatmu tidak mencintaiku lagi? dasar murahan tidak tahu diri, sudah banyak yang aku berikan untuk kau. Tapi kau malah...." Belum sempat ia melanjutkan perkataannya, aku yang melihat tangisan Vienna makin deras, langsung memukul wajahnya lagi, tapi tanpa kuduga ternyata ia menangkis pukulanku dan memukul perutku. Pukulannya lumayan keras, membuatku tersungkur ke lantai. Dia langsung mengambil kerahku dan memukulku. Kutendang perutnya, kini ia tersungkur. Aku langsung bediri, kuambil kerahnya dan memukulnya membabi buta, sampai teriakkan sebuah suara wanita yang lagi-lagi tidak asing terdengar.
"Hentikan!" Masih belum puas, aku melanjutkan memukul Robert.
"Sudah, hentikan Bim" Suara lirih Vienna, membuatku seakan terhipnotis, dan menghentikan pemukulan ini. Lalu kulihat seorang wanita paruh baya, yang tadi menyuruhku berhenti langsung menghampiri Robert dan mengangkatnya. Sebelum pergi Robert menatapku tajam, seakan mengancam.
Vienna masih duduk bersandar di dinding. Nafasnya masih tidak teratur, meski air matanya sudah berhenti mengalir, badannya gemetar seperti dimalam dia diganggu preman jalanan. Aku langsung duduk disebelahnya, kupeluk dirinya. Kutepuk-tepuk punggungnya, mencoba menenangkan. Disenderkan wajahnya di bahuku, kini ia mulai menangis lagi. Setelah puas menangis, dan membasahi bajuku ia mengangkat kepalanya, dan berkata :
"Terimakasih Bim."
"Tentu saja, apa yang baru saja terjadi Vie?" Vienna terdiam, dan berkata
"Maaf Bim, tapi aku belum siap untuk menceritakan." Ucapnya sambil menunduk.
"Tidak apa-apa Vie, kapanpun kamu merasa siap untuk menceritakan penderitaanmu, aku akan mendengarkan Vie." Vienna mengangguk pelan, masih menunduk.
Pintu terbuka, kini aku melihat wanita yang tadi membantu Robert datang menghampiri kami. Raut mukanya marah, mengerikan, seakan siap menerkam siapapun.
"Siapa kau? datang-datang langsung membuat onar! Apa kau tahu apa yang baru saja kau lakukan? memukul anak dari Pak Herman. Dan juga bagaimana kau bisa sampai ke sini?"
Akupun berdiri dan menjawab.
"Maaf, tapi tidak akan kubiarkan siapapun menyakiti Vienna, siapapun itu! Termasuk Robert Barata!" Geramku.
"Kau kira kau itu pahlawan? Dengan memukul Robert, terlebih dengan alasan melindungi Vienna, kau malah akan membuat Vienna menderita! Apa kau tahu apa yang sudah kami lalui untuk dapat bertahan? Lalu tiba-tiba kau datang dan menghancurkan segalanya!"
Vienna berdiri di sebelahku, dan berteriak.
"Ma! Vienna sudah lelah dengan permainan mama. Mama seolah-olah melindungi Vienna, tapi sebenarnya mama hanya tidak ingin hidup menderitakan!" Ucapan Vienna membuatku kaget, ternyata wanita ini adalah orang yang sudah melahirkan Vienna.
"Omong kosong macam apa itu Vie? Kamu hanya perlu bertahan dua minggu lagi, tapi temanmu ini malah menghancurkan segalanya!"
"Apa mama tahu? kalau Bima tidak ada disini, kejadian satu tahun yang lalu hampir terulang lagi." Suara Vienna bergetar saat mengatakan kejadian satu tahun yang lalu.
Mama Vienna terdiam, mukanya sekarang menjadi lebih menyeramkan dari yang sebelumnya setelah mendegar perkataan Vienna. Tangannya mengepal keras, sedangkan aku terdiam bingung, berusaha mencerna apa yang telah terjadi, dan apa kejadian yang telah terjadi kepada Vienna.
"Maafkan mama Vie." Ucap wanita itu lalu memeluk Vienna. Mereka berdua menangis deras, meluapkan emosi yang sudah lama mereka pendam.

Kini, aku, Vienna, dan Mama Vienna, yang ternyata bernama Ningsih itu sedang duduk di ruangtamu di dalam kamar ini. Ya, ini adalah kamar untuk pelayan. Dan baru aku sadari, kamar ini sedikit lebih besar dan jauh lebih nyaman dibandingkan tempat tinggalku.
Setelah sekitar tiga puluh menit berbicara. Aku sangat kaget dengan informasi yang aku dapatkan. Ternyata, Ningsih adalah kepala pelayan di rumah ini, dan selama ini Vienna tinggal disini dengannya. Vienna, menceritakan tentang diriku dari awal pertemuan kami, sampai kejadian hari ini.
"Lalu, bagaimana kau bisa sampai ke ruangan ini?" tanya Ningsih, kini nada suaranya lebih ramah dari sebelumnya.
"Entahlah, hanya saja aku merasa tidak asing dengan tempat ini, seakan aku sudah pernah kesini sebelumnya."ucapku ragu.
Mama Vienna lalu menatap wajahku dalam-dalam, mengobservasi wajahku. Lalu ia bertanya.
"Apa nama lengkap ibumu adalah Wulan Lestari?"
"Bagaimana tante bisa tahu nama lengkap bunda?" tanyaku kaget, sekaligus membenarkan pernyataannya. Kulihat Mama Vienna, dan Vienna membelalak seakan tidak percaya.
"Ada apa?kalian mengenal bundaku?"
"Tentu saja, bundamu adalah sahabatku." Terdiam sesaat, Ningsih melanjutkan.
"Pantas saja, aku merasa tidak asing dengan wajahmu. Perpaduan antara wanita cantik dan pria tampan." Matanya menatapku takjub.
"Apa tante tahu siapa ayahku?" tanyaku semangat. Ningsih terdiam beberapa saat sebelum menjawab.
"Maaf, tante tidak tahu siapa ayahmu."
"Lalu, bagaimana tante tahu ayahku adalah seorang yang tampan."
"Bundamu yang bilang, tante tidak pernah tahu siapa ayahmu." Ningsih mengalihkan topik pembicaraan.
"Dulu, Wulan adalah kepala pelayan. Tetapi ia berhenti dan meninggalkan tempat ini saat kau berumur enam tahun."
"Mengapa?" Tanyaku penasaran. Aku lihat, Ningsih lagi-lagi ragu untuk menjawab.
"Aku kurang tahu tentang alasannya." Jawabnya, lalu diapun buru-buru pergi dengan alasan pekerjaan.
Aku lihat Vienna, matanya berseri-seri senang.
"Kau tidak ingat?"tanyanya semangat. Vienna menjelaskan.
"Kita adalah sahabat, selalu bersama-sama semenjak lahir. Aku sudah menganggap mamamu sebagai mamaku sendiri. Mama Wulan sangat baik kepadaku, itulah sebabnya malam itu aku ada disana. Tanpa sengaja aku mendegar percakapan Pak Ahmad dengan Pak Herman tentang seseorang yang bernama Wulan tinggal di daerah B, tempatmu tinggal. Maka aku memutuskan untuk pergi kesana, dengan harapan dapat bertemu denganmu dan Mama Wulan. Aku tidak tahu pasti mengapa Pak Herman membicarakan kepala pelayan yang sudah berhenti kurang sepuluh tahun yang lalu. Jadi, aku memutuskan untuk menyelidiki sendiri, itulah mengapa aku pergi sendirian malam itu. Tapi, sayangnya saat itu bundamu sedang tidak di rumah." Vienna menjelaskan dengan penuh semangat.
"Lalu, mengapa kau tidak mengenali namaku?"
"Dari dulu, semua orang memanggilmu Bara. Aku tidak tahu kalau nama lengkapmu ternyata Bima Tabara."
Memori-memori masa lalu kini berlalu-lalang di dalam kepalaku. Perlahan-lahan aku mulai mengingat potongan-potongan memori masa kecilku. Aku ingat rumah ini, semuanya masih sama seperti terakhir kali aku disini. Hanya saja, kini tidak ada lagi foto Maya Barata, istri dari Herman Barata bertebaran di dinding rumah ini.
"Lalu, lukisan yang selalu kau bawa itu siapa? Seingatku, rambutku dulu pendek tidak panjang."
"Sepertinya sudah banyak yang kau lupakan Bim. Setahun setelah kau pergi, kau diam-diam pergi kesini untuk menemuiku. Saat itu rambutmu sudah panjang, aku hampir tidak mengenalimu."
Kini, semakin jelas memori masa kecilku. Aku ingat, saat aku berjalan kaki jauh-jauh hanya untuk menemui seorang sahabat. Aku ingat, saat aku diam-diam menyelinap masuk ke kamar Vienna hanya untuk bermain dengannya. Aku ingat hari terakhir aku bertemu Vienna, ketika aku kembali ke sini sendirian saat berumur tujuh tahun. Vienna mengatakan ingin melukis diriku, sebagai pengingat tentang diriku, seandainya kami tidak akan bertemu lagi. Aku juga ingat, Pak Ahmad, ya tidak salah lagi dialah yang membawaku pergi dari rumah ini dan membawaku kembali ke bunda. Aku jugat ingat pesannya, jangan pernah kembali ke tempat ini, setidaknya sampai dia datang menjemput. Aku menunggu janjinya, setiap hari sampai-sampai aku lupa janjinya untuk menjemputku.
"Aku ingat Vie, aku ingat sekarang Vieeeeee" Ucapku lalu memeluknya erat-erat. Vienna membalas pelukanku, dan kamipun tertawa bersama.
Sekarang ini, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang ingin kutanyakan kepada bunda, Pak Ahmad, Ningsih, Vienna, tetapi mungkin akan aku simpan pertanyaan itu untuk lain waktu.

--Seperti bayangan selalu menemukan pemiliknya saat matahari beranjak pergi. Kebenaran akan selalu menemukan jalannya.-

Cinta Dua Generasi (Novel bukan Picisan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang