Siluman Betina

226 6 0
                                    


Siluman Betina

oleh : Addison Stevandi

Wanita itu tumbuh tanpa mengetahui sosok aslinya. Berpuluh-puluh cermin digandeng hanya untuk mengetahui siapa dirinya, bahkan benda-benda itu mengelilingi tubuhnya hingga membentuk sebuah ruang persegi—seakan-akan dia berada dalam dunia cermin, dunia yang dipenuhi beribu bayangan.

Meski beribu sosok yang sama tampak di balik kumpulan cermin, namun yang terlihat hanya sesosok perempuan nakal berbalut keparat dan sebentar lagi akan sekarat lantaran hampir setiap hari sengaja menghancurkan hidupnya demi mendapat emas beratus-ratus karat, akhirnya mau tak mau, suka tak suka membuatnya memiliki pribadi melarat.

Sikap dan penampilannya memang bisa dikatakan serasi dengan malam jalang—malam yang disenandungi sekian banyak teriakan bahkan diiringi dengan sebuah tarian, lalu dibangkitkan oleh sesuatu yang bergerak dari balik balutan berpola segitiga, dan terjadi begitu saja di berbagai tempat berlatarkan cahaya remang-remang.

Tubuh saban hari didandaninya ala setan, dipoles dengan riasan menor bak tante girang menunggu mangsa. Lipstik dan bedak yang tebal, serta wewangian mampu mengundang kehadiran bahkan berupaya menyayat berbagai macam bentuk sikap.

Meski mereka berbeda cara untuk mendapatkannya, tapi tetap saja kesemuanya akan berujung pada satu julukan, 'hidung belang'.

Penampilannya yang mesum jelas di otak sebagian penikmat terukir perkataan, "ini merupakan kudapan yang enak untuk disajikan di awal bulan." Ibaratnya mereka sesekali makan malam di restoran memiliki kadar kemewahan berbeda-beda tergantung pada dana yang dimiliki, serta menu yang sanggup dibeli. Sekali waktu mereka memaksakan diri menginginkan sesuatu yang lebih, padahal kumpulan kertas merah yang bertahan di balik kantong celananya mulai menipis karena terlalu banyak merasakan berbagai macam bentuk kenikmatan dengan rasa berbeda.

Tapi bagi yang lain—yang benar-benar mengerti makna 'jijik' dan 'liar' akan berkata, "ini bukan kudapan yang enak untuk disajikan dalam piring kehidupan, melainkan kudapan berbahaya mengandung formalin gairah plus perpaduan antara zat bejat dan nista. Patut disajikan dalam piring kematian."

Selain kudapan itu cocok untuk kantong para lelaki hidung belang, bisa juga berlaku sebagai anggaran perusak rumah tangga orang.

Tidak peduli dirinya dikatakan barang rongsokan yang semestinya ditempati di gudang ruang bawah tanah atau dibuang ke tempat sampah. Dia lebih mementingkan pundi-pundi yang diberikan oleh tangan-tangan kekar, daripada memedulikan perkataan kekasih si pemilik tangan—bisanya bercuap-cuap ria di saat ada arisan, namun diam jikalau seseorang meminta haknya ketika malam tiba.

"Sentuhlah...!"

Rayuan setan dalam perkataan sakral di sela-sela perundingan, harapan membantu bangkitkan gelora peranakan bak raja singa meraung-raung kelaparan, pertanda yang tersirat dalam ramalan manusia setengah binatang.

"Aku duluan," ujar salah seorang.

"Aku," ucap yang lain.

"Ini punyaku." Satu lagi tak mau kalah.

Keributan terus terjadi karena memperebutkan perempuan setengah hati. Udara dan angin masih berbaik hati memberi mereka ruang untuk adu mulut sampai menemukan jalan yang tepat menyelesaikan perkara dosa yang mereka inginkan.

"Malam ini jatahku."

"Jatahku."

"Giliranku."

Hampir setiap malam situasi seperti ini yang muncul di sela-sela jual beli barang rongsokan, bekas dari beberapa penikmat yang antipati dengan kata 'resiko'. Tua-muda atau miskin dan kaya berkumpul dalam satu wadah untuk mendapat 'resiko' yang sama. Mungkin mereka menganggap ini hanyalah sekedar permainan biasa, tanpa menyadari telah melakukannya di tanah keramat yang akan menimbulkan kesumat—sekarang, besok, lusa, minggu depan, atau tahun depan—pastinya sesuatu akan datang menggrogoti mereka yang begitu buta dengan 'akibat'.

Ini semua berawal dari ketersesatannya dalam labirin yang menakutkan dan menghantuinya setiap saat; dalam tidur, dalam kesendirian, dan dalam lamunan. Labirin itu berdindingkan beribu-ribu hasrat, di permukaannya bersandar tubuh-tubuh liar yang mampu menyewa sebongkah hasrat di bawah ladang-ladang perawan yang panen perzinahan.

Pada dasarnya tubuh-tubuh itu musuh yang kuat baginya. Mampu menutupi hatinya dengan membelinya sebongkah emas, berlian, mobil mewah, apartemen, bahkan satu unit rumah mewah untuk dijadikan mainan bilamana 'apa yang sudah mereka miliki' tiba masanya untuk melabelinya dengan kata 'jenuh'.

Karena ketakberdayaan, mencerdaskan para bajingan itu menanggalkan iman dan mengatur hidupnya hingga membuatnya terbiasa menerima situasi yang sengaja diciptakan untuknya. Dan dia juga mau diperlakukan demikian, meski menjadi yang kedua dengan status tak jelas karena nuraninya sudah ditutupi atau justru mau ditipu dengan harta dunia daripada kerajaan surga.

Sekarang, dia tak menghiraukan lagi nasib dirinya bahkan perkataan orang-orang menyakitkan lantaran profesi yang digelutinya. Dia sudah kebal terhadap serangan yang bertubi-tubi tertuju padanya—karena tubuhnya telah lama disenangi dedemit bertanduk, malah akan dijadikan setan itu tempat favoritnya untuk bersemayam dalam waktu jangka panjang. Makanya, tubuhnya saban hari makin lecet lantaran beribu birahi pejantan menjadi liar dan beringas di permukaan perhiasan yang rutin dirawat. Sungguh murahan, rela mengumbar tubuh bagi siapa saja yang mampu memberinya kenikmatan dunia.

Parahnya lagi, kiranya dia tidak merasa dilecehkan, kendati ganjaran menganga dan meranggas di ubun-ubun sebagai peringatan. Tetap saja berpikiran, itu hanya ocehan sesaat.

Dari halaman leluhur, dia bukan terpaksa lagi memainkan permainan itu, sudah menjadi agenda hariannya sampai-sampai mengaturnya seperti minum obat tiga kali sehari. Dimana, setiap waktu sekawanan jerit rapuh pada persetubuhan kesumat di taman keramat. Pada awalnya keterpaksaan namun lama-kelamaan berubah menjadi kesengajaan. Bersekongkol dengan hati yang pucat, berpura-pura melemahkan tubuh serta mengusamkan wajah seolah-olah korban dari prostitusi setiap ada penyergapan.

Jelas... terlihat nyata hanya saja dia lihai, acapkali melontarkan alasan basi, "ini demi mengetahui siapa diriku," ujarnya jikalau mengelak. Awalnya alasan itu benar adanya, tapi kini setelah dia merasakan berpuluh-puluh kenikmatan bersifat sementara dan tetap mencari kenikmatan lainnya dengan jalan yang sama, maka alasan tersebut sebenarnya telah berubah menjadi topeng semata. Dan terus berlanjut, entah sampai kapan.....

Beberapa tahun kemudian

Lamat-lamat terdengar berita jompo yang sama sekali tidak menampar, mencerca, merontokkan keingintahuannya selama ini tentang 'siapa dirinya'. Sebab sebelum mengetahui siapa dirinya, dia sudah menjalankan kehidupan seperti apa yang ditakdirkan padanya.

Bahwasanya dia terlahir dari rahim terkutuk yang bertekuk lutut pada perjanjian gelap. Di dalamnya tersurat setengah dari hatinya akan dipersembahkan kepada iblis sebagai senjata penghancur peradaban.

Jakarta, 30 Mei 2015    

Mengeja Pahit (Kumpulan Puisi dan Prosa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang