Bab 24

851 33 0
                                    

"Kita mau kemana?" tanya Ariana saat mereka sudah berada di dalam mobil Justin. Justin sedang fokus mengendari mobilnya.

"Ke mall saja bagaimana? Kita bisa nonton, mungkin," jawab Justin tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.

"Mall ya? Lumayan."

***

Justin menarik tangan Ariana memasuki bioskop yang berada di mall yang mereka kunjungi. Justin meminta Ariana untuk membeli pop corn dan minuman untuk mereka, sedangkan Justin mengantri tiket.

"Sudah?" tanya Justin dengan membawa dua lembar tiket. Ariana mengangguk, melihatkan sekotak besar pop corn beserta dua kaleng soft drink.

"Kita mau nonton apa?" tanya Ariana. Mereka berdua sudah duduk di kursi, menunggu beberapa menit lagi hingga film ditayangkan.

"Lihat saja nanti. Ini salah satu film kesukaanku," kata Justin sok misterius. Lelaki itu terkekeh setelahnya. Ariana bingung apa yang membuat Justin terkekeh, padahal tidak ada yang lucu.

Ruangan tiba-tiba menjadi gelap. Layar lebar dihadapan mereka sudah menyala, menandakan film akan dimulai. Tiba-tiba saja perasaan Ariana tidak enak. Ia merasa ada sesuatu yang aneh. Gadis itu melirik Justin yang fokus menyaksikan film itu. Mata Ariana terbelalak sempurna saat mengetahu pasti film apa yang mereka tonton. Film horor. Ariana sangat takut dan membenci film horor.

"Just, film apa ini?" rengek Ariana. Nada suaranya bergetar karena menahan takut. Ariana terpaksa harus memeluk lengan Justin sepanjang film dan menyembunyikan wajahnya disana saat adegan menakutkan muncul. Keringat dingin mengalir dari pelipisnya.

"Tenang Ri, ini hanya film," hibur Justin. Lelaki itu mengelus lembut puncak kepala Ariana. Di dalam hati, Justin tertawa keras menyaksikan Ariana yang ketakutan seperti ini. Gadis itu bahkan memucat. Ini adalah pembalasan saat Ariana berhasil mengerjainya di festival kembang api lalu. Ia masih dendam saat harus terpaksa menaiki roller coaster hanya untuk menjaga harga dirinya agar tidak jatuh di mata Ariana.

"Kau jahat sekali!" Ariana memukul lengan Justin saat mereka sudah meninggalkan bioskop. Ariana pikir ia tidak akan marah-marah lagi. Tetapi sayangnya, pemikirannya salah.

"Hentikan. Aku hanya bercanda," sahut Justin dengan gelak tawa. Lelaki itu benar-benar merasa sangat puas bisa mengerjai Ariana.

"Kau jahat." Ariana memberenggut kesal, lalu berjalan meninggalkan Justin yang masih tertawa.

"Ari, tunggu aku," susul Justin dari belakang. Lelaki itu menarik lengan Ariana hingga gadis itu berhenti dan berbalik padanya.

"Kau menyebalkan," renggut Ariana. Justin terkekeh lalu mengacak rambut Ariana gemas. Ia selalu gemas pada Ariana saat gadis itu merenggut. Ariana berubah menjadi sangat menggemaskan baginya.

"Aku hanya bercanda. Lagi pula, setidaknya kita satu sama. Ingat roller coaster?" Justin memainkan kedua alisnya. Kening Ariana sempat berkerut sebelum akhirnya tawa gadis itu pecah.

"Ah iya aku ingat. Kejadian dimana kau muntah itukan? Memalukan," ejek Ariana tanpa menyadari bahwa ia juga sangat memalukan di bioskop tadi.

"Hei Nona, berkaca dulu sana. Kau juga memalukan. Wajahmu pucat dan keringatmu mengalir. Bersembunyi di balik lenganku pula," ejek Justin balik. Mereka berdua kemudian tertawa menyadari kebodohan masing-masing.

"Baiklah, kita anggap itu impas," kata Ariana dengan masih tertawa.

"Damai?" Justin menyodorkan jari kelingkingnya yang disambut baik dengan Ariana.

"Damai." Kelingking mereka berdua saling terkait. Justin lalu merangkul bahu gadis itu, membawanya ke tempat lain.

"Mau kau bawa kemana lagi aku?"

"Aku lapar. Ayo makan dulu," ajak Justin. Mereka berdua menuju salah satu restoran di mall itu. Justin dan Ariana memesan makanan dan minuman yang sama disana.

"Ini sudah memasuki minggu ketiga ya, Just? Tinggal satu minggu lagi dan kontrak itu berakhir." Ariana membuka pembicaraan yang snagat tidak disukai Justin. Justin tidak pernah suka mengingat waktu mereka untuk ersama hanya tinggal sebentar lagi, entah mengapa. Rasanya, lelaki itu ingin lebih lama menjalani hubungan pura-pura ini lebih lama dengan Ariana.

"Meskipun hanya seminggu lagi, kau tetap masih terikat denganku," sahut Justin ketus. Ariana mengernyit aneh, kenapa tiba-tiba saja Justin berubah begitu?

"Ya, aku tahu. Kau tidak usah mengingatkanku begitu. Ingatanku masih baik untuk mengingatnya," cibir Ariana. Ariana menyuap makanannya masuk kedalam mulut setelah itu.

"Siapa tahu kau lupa, kan?"

"Never. Oh ya Just, bagaimana dengan Sophia?"

"Sepertinya gadis itu sudah menyerah," jawab Justin.

"Bagaimana bisa?"

"Beberapa hari yang lalu, keluarganya datang ke rumahku untuk kunjungan dan makan malam bersama. Aku terpaksa harus ikut juga karena Mom berjanji itu yang terakhir. Awalnya semua berjalan lancar. Tidak ada yang membahas masalah perjodohan itu. Lalu tiba-tiba saja ayah Sophia membuka pembicaraan menyebalkan itu. Aku mulanya hanya diam saja, melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Ayah Sophia bertanya pada Dad. Tetapi Dad mengusulkan untuk lebih baik bertanya dulu kepada kami berdua. Mungkin Dad sudah mengetahui hubungan kita. Meskipun Dad yang merancang perjodohan itu, tetapi baginya jika aku tidak bahagia, aku boleh saja menolak dengan alasan yang jelas. Pertama Sophia yang ditanya. Gadis itu langsung mengangguk setuju dengan semangatnya. Seperti anak kecil. Aku tidak suka dengan sikapnya yang childish itu. Lalu mereka bertanya padaku, langsung saja ku katakan tidak setuju," cerita Justin panjang lebar. Ariana mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.

"Apa alasan yang kau katakan?"

"Aku katakan jika aku sudah memiliki kekasih. Lagipula, kau tidak mencintai Sophia. Aku hanya akan menyakitinya jika perjodohan itu tetap dilaksanakan. Kami tidak akan bahagia, seperti harapan kedua orang tua kami."

"Kau mengatakan alasan seperti itu di hadapan keluarga Sophia?" tanya Ariana terkejut.

"Ya. Mereka bisa memakluminya. Aku sudah lama mengenal kedua orang tua Sophia. Aku yakin mereka tidak akan marah jika aku mengutarakan yang sebenarnya. Mereka orang yang baik," jawab Justin. Lelaki itu menyeruput minumannya sebentar.

"Sophia masih tetap menemuimu setelah itu?"

"Tidak. Aku bahkan tidak melihat batang hidungnya lagi di kampus. Setidaknya, itu lebih baik." Justin tersenyum, menampilkan kesenangannya karena tidak lagi di ganggu Sophia. "Oh ya, ada bagian yang lupa ku ceritakan padamu"

"Apa itu?" tanya Ariana penasaran.

"Sophia menangis saat itu, menangis hebat."

"Benarkah? Kasihan sekali."

"Ya, begitulah. Tapi mau bagaimana lagi."

"Menurutku Just, mungkin ada baiknya kau menerima Sophia. Ia cantik, kaya dan pintar. Masalah rasa, itu bisa berjalan dengan seiringnya waktu berjalan. Kau tidak perlu khawatir. Lagi pula, ia benar-benar tulus mencintaimu, Just," saran Ariana. Baginya, tidak ada salahnya untuk mencoba bukan?

"Tetapi aku tidak mau. Sudahlah, jangan bicarakan dia lagi." Justin mengibas-ngibaskan tangannya. Lelaki itu melanjutkan makan tanpa melihat lagi ke arah Ariana. Ariana juga ikut kembali makan jika Justin sudah seperti itu.

"Ari," panggil Justin kemudian. Ariana mendongak pada Justin dengan mulut yang masih berisi makanan. Tiba-tiba saja tangan lelaki itu terjulur pada wajahnya. Tanpa disadarinya, tangan Justin sudah bergerak menyapu sudut bibirnya.

"Ada saus disana," kata Justin cuek. Justin kembali melanjutkan makannya, meninggalkan Ariana yang membeku. Seperti ada sengatan listrik saat tangan lelaki itu menyapu sudut bibirnya. Ada yang berbeda yang tiba-tiba saja mengalir dalam tubuhnya.

Ariana menggelengkan kepalanya samar. Apa yang dipikirkannya? Itu hal biasa bukan? Justin hanya berniat membantunya saja, tidak lebih. Ariana memilih kembali melanjutkan makannya.

*tbc

Love,
Vand🦋

(Fake) GirlfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang