Bab 15

3.6K 255 4
                                    

Senyum Justin kembali terkembang saat ia melihat foto Ariana yang berhasil didapatkannya secara diam-diam. Entah mengapa ada suatu perasaan senang pada dirinya saat melihat foto itu. Ada suatu daya tarik dari senyum Ariana yang berhasil mengambil hatinya.

Kejadian di bianglala itu kembali berputar dikepalanya. Harus ia akui, di sanalah untuk pertama kali ia berdecak kagum untuk Ariana. Selama ini, menurutnya Ariana hanyalah gadis cerewet nan menyebalkan. Hal itu berhasil menutup mata Justin tentang fakta bahwa Ariana adalah gadis yang manis.

Tiba-tiba saja terpikir olehnya tentang perjanjian yang mereka buat -lebih tepatnya hanya Justin. Tidak terasa dua minggu sudah berlalu. Sudah setengah waktu dari perjanjian itu. Berarti hanya akan ada dua minggu lagi. Dua minggu lagi dimana ia memiliki alasan untuk menelpon, bertemu ataupun memerintah gadis itu. Entah mengapa ia merasa tidak rela jika dua minggu sisa yang dipunyanya akan berlalu dengan cepat, sama seperti dua minggu yang telah berlalu.

Sejauh ini, usaha yang mereka lakukan tidak sia-sia. Perlahan pergerakan Sophia untuk mendekatinya mulai melemah, walaupun belum menghilang sepenuhnya. Sophia masih mengganggunya, masih membuat buruk harinya. Tetapi setidaknya sekarang ia tidak punya pelindung lagi. Jenna sudah setuju dengan hubungan Justin dan Ariana. Ia tidak dapat lagi memaksa Justin untuk tetap bersama Sophia.

Siang itu, Sophia dengan langkah gusar memasuki rumah Justin. Tanpa perlu mengetuk pintu terlebih dahulu, gadis itu langsung saja menerobos rumah yang sudah biasa dimasukinya itu. Langkahnya berantakan mencari Jenna. Ada hal penting yang harus dikatakannya pada ibu lelaki yang dicintainya itu.

"Mom," panggil Sophia pada Jenna yang sedang duduk santai membaca majalah. Jenna sedikit terkejut mendapati Sophia yang tiba-tiba berada di rumahnya.

"Sophia. Ada apa, Dear?" tanya wanita paruh baya itu. Sophia mendekati Jenna, lalu duduk disebelahnya.

"Mom, tolong jelaskan padaku mengenai Justin dan kekasih barunya utu. Apa maksud dari semua ini, Mom?" serak Sophia. Jenna menatap gadis itu terkejut. Tidak menyangka jika Sophia sudah mengetahuinya. Ia jadi tidak tega menceritakan yang sebenarnya pada gadis yang sudah dianggapnya anak ini.

"Mom, katakan itu bohong. Bohongkan, Mom? Justin tidak mungkin memiliki kekasih. Ia akan dijodohkan denganku kan Mom?" desak Sophia. Matanya sudah mulai kabur ditutupi air mata yang siap jatuh. Gadis itu sudah tidak tahan menahan sakit hati yang ditanggungnya.

"Itu benar," lirih Jenna. Ia merasa sangat bersalah. Ia tidak tega melihat Sophia yang sudah mulai menagis itu.

"Ta-tapi Mom, aku mencintai Justin. Mom sudah berjanji akan menjodohkanku dengan Justin," isak Sophia. Air matanya menganak sungai di pipinya. Mengalirkan suatu kepedihan yang mendalam.

"Maafkan Mom. Mom tidak bisa melarang Justin. Mom tidak bisa mengahalangi kebahagiaannya Soph." Jenna merengkuh Sophia kedalam rengkuhannya. Diusapnya punggung gadis itu perlahan.

"Tapi Mom bilang ia akan dijodohkan denganku. Kedua orang tuaku juga mengatakan hal seperti. Justin untukku Mom," isakan Sophia terasa begitu memilukan. Gadis itu benar-benar merasa hancur. Bertahun-tahun ia mencintai Justin, menanti lelaki itu untuk membalas perasaannya, melakukan berbagai cara untuk mendapat perhatian lelaki itu. Tapi apa hasil yang didapatkannya? Hanya sebuah sakit. Justin menemukan gadis lain. Justin tidak memilihnya.

"Maafkan Mom." Hanya itu yang dapat diucapkan Jenna. Ia tidak tahu harus berkata apalagi. Jauh di lubuk hatinya, ia sangat ingin Justin memilih Sophia sebagai pendampingnya. Ia sudah mengenal Sophia sangat baik, begitupun keluarga Sophia. Sophia memiliki latar belakang yang bagus. Sophia gadis yang baik dan ceria, walau kadang sikap sombong dan manjanya sering kali menyeruak ke permukaan. Tetapi secara garis besar, Sophia gadis yang baik. Tetapi Jenna tidak bisa memaksa Justin. Wanita itu tidak ingin anaknya tidak bahagia. Ia tidak ingin memaksakan kehendaknya pada anaknya itu. Justin bebas memilih masa depannya, asalkan itu benar dan dapat membahagiakannya. Dengan siapapun, tidak masalah bagi Jenna.

"Bisakah kau membujuk Justin untuk memutuskan gadis itu, Mom? Bisakah kau membujuk Justin untuk mau menerimaku?"

"Mom sudah pernah melakukannya Sophia. Tetapi kau tahu bagaimana Justin, ia sangat keras kepala. Ia tidak pernah suka diatur, dikekang. Mom tidak bisa melakukan apa-apa lagi, Sophia," sesal Jenna. Ia sudah pernah membahas hal itu pada Justin. Membujuk anaknya agar mau menerima Sophia. Bahkan Jenna repot-repot menjelaskan semua kelebihan Sophia agar hati anaknya itu luluh. Namun Justin tetaplah Justin. Lelaki yang keras kepala. Justin mengeleng tegas, menyatakan penolakannya. Menurut Justin, jika memang ia dan Sophia ditakdirkan bersama, seperti apa yang diayakini Sophia, Sophia harusnya tidak perlu repot-repot memaksakan mereka berdua untuk bersatu. Tuhan pasti akan menunjukkan jalannya. Tidak perlu sampai harus memaksa seperti ini.

"Lalu harus bagaimana lagi Mom? Aku sangat mencintai anakmu." Suara itu terdengar begitu putus asa. Begitu memilikukan, mengiris hati. Jenna hanya bisa diam, mengelus punggung Sophia. Ia tidak tahu harus berbuat apa lagi.

Sophia masih saja menangis di bahu Jenna saat Justin tidak sengaja lewat. Justin sempat terhenti sebentar. bingung kenapa gadis itu menangis di pelukan ibunya. Namun ia tidak mau mengambil pusing itu semua, kembali melanjutkan langkahnya. Mungkin Sophia menagis karena kejadian semalam, pikir Justin.

*tbc

Love,
Vand🦋

(Fake) GirlfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang