Bab 21

35 4 0
                                    

Bagi seorang remaja sepintar Afif, pertanyaan perihal pria paruh baya yang datang tadi siang yang tidak kunjung mendapat jawaban dari Adhira dan Rendra, tidaklah sulit untuk diartikan. Ia paham dengan kebisuan dua kakaknya itu. Dan dirinya sekarang, tidak tahu harus bersikap apa.

Berbeda dengan Adhira, Afif tidak merasakan tekanan emosional ketika tahu bahwa Johan adalah ayahnya. Ketika orang tuanya bercerai, usianya masih terbilang sangat kecil untuk bisa mengingat sosok ayahnya yang telah lama meninggalkannya. Dan lagi, ia memang tidak punya banyak kenangan yang pernah dibuat bersama dengan pria itu. Dalam hidupnya selama ini, Lisa adalah sosok orang tuanya satu-satunya, Lisa adalah ibu sekaligus juga ayahnya.

Afif sekarang merasa bingung. Namun lebih dari itu, ia lebih merasa tidak nyaman dengan apa yang baru saja terjadi. Ia sudah terbiasa dengan kehidupannya bertiga bersama dengan ibu dan kakak perempuannya. Dan sekarang tiba-tiba saja muncul sosok yang mengaku sebagai ayahnya, sosok yang asing bagi dirinya, Afif mulai merasa tidak tentu.

Namun tentu, pada saat-saat dirinya tumbuh dan usianya bertambah, terkadang ia bertanya dalam benaknya, ingin tahu bagaimana sebenarnya sosok ayahnya dulu. Bahkan album-album foto yang ada di rumah pun, semuanya hanya menampung kebersamaan mereka ketika sudah bertiga. Dan di usianya sekarang yang serba ingin tahu, Afif pun benar-benar merasa penasaran dengan hal itu.

Ia kemudian berdiri dari posisinya yang ketika itu tengah bersandar pada sandaran kasur. Ia membuka pintu kamarnya dan mengetuk pintu kamar Adhira. "Kak, boleh masuk?" ucapnya pelan.

Tidak sampai lima detik, pintu itu terbuka, dan Adhira muncul di baliknya sambil mengangguk, dan merangkul Afif untuk masuk ke dalam.

***

Rendra baru saja menutup panggilannya dengan Sarah malam itu. Kejadian yang terjadi tadi sore cukup membuatnya tidak nyaman, dan jadi rindu pada istrinya itu. Satu jam dua puluh tiga menit, begitulah angka yang tertera di layar ponselnya yang menampilkan log panggilan keluar dari aplikasi WhatsApp-nya.

Sekarang ia tiba-tiba kembali teringat kejadian tadi, dan dirinya kembali diliputi perasaan tidak nyaman. Johan dan Andreas kini mulai muncul dan kembali mengusik keluarga Adhira. Tentu hal itu bukan sesuatu yang bagus, namun di sisi lain, ia sendiri mulai mempertanyakan apakah yang selama ini ia lakukan pada Adhira dan keluarganya ketika menghadapi dua pria tadi sudah cukup bijak?

Ia tiba-tiba saja teringat kejadian beberapa tahun lalu ketika Adhira mengajaknya bertemu di sebuah restoran untuk memperkenalkan pacar barunya. Ketika itu ia cukup terkejut mengetahui bahwa Adhira berpacaran dengan Andreas, orang yang ia tahu betul cukup dekat dengan seseorang yang pernah memiliki masalah dengannya, Liam.

Hawa permusuhan Rendra sudah ia tunjukkan pada Andreas sejak awal mereka bertemu, meskipun jika Rendra ingat, pada bulan-bulan pertama mereka berpacaran, Andreas tidak pernah sekalipun bersikap kurang ajar pada Adhira. Sampai akhirnya terjadilah kejadian buruk yang menimpa sepasang kekasih itu, yang mengkonfirmasi Rendra bahwa Andreas tidak lebih baik dari Liam, keduanya sama, keduanya senang mempermainkan wanita, menganggap mereka barang yang bisa mereka jadikan bahan taruhan.

Rendra yang semula hendak membuang semua prasangka negatifnya terhadap Andreas, ketika itu pula mengurungkan niatnya, dan merasa bersyukur bahwa ia tidak sampai tertipu topeng pria yang sekarang menjadi bosnya tersebut.

***

Jakarta, 2009

Matahari masih bertengger di seperempat langit, tertutup awan, namun sinarnya masih membias jingga di langit sore. Rendra tengah duduk menunggu Adhira di pelataran kampus, meminum milkshake Oreo yang dibelinya beberapa menit lalu, ketika ia melihat gerombolan mahasiswa tengah mengambil tempat di atas rumput tepat di belakang tempatnya kini duduk, sambil tertawa-tawa dan mengobrol kencang.

Hujan Bulan DesemberWhere stories live. Discover now